Laman

Senin, 24 September 2012

SKRIPSI PENGARUH PENYETELAN PADA KARBURATOR TERHADAP EMISI CO PADA MOBIL TOYOTA KIJANG 5 K STEFANUS AMA HELAN 0701120943 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA K U P A N G 2 0 1 1 PENGARUH PENYETELAN PADA KARBURATOR TERHADAP EMISI CO PADA MOBIL TOYOTA KIJANG 5 K Diajukan untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan Teknik Mesin STEFANUS AMA HELAN 0701120943 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG 2011 LEMBARAN PERSETUJUAN Judul Proposal : Pengaruh penyetelan pada karburator terhadap emisi CO pada mobil toyota kijang 5 K Nama Mahasiswa : Stefanus Ama Helan N I M : 0701120943 Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan pada hari/ tanggal: Selasa, 02 Agustus 2011. Menyetujui: Pembimbing I Pembimbing II Drs. Basri K., M.Si Munaskop Wadyosapto, S. Pd NIP. 19640614 199103 1 002 NIP. 19610428 198601 1 001 Mengetahui: Ketua Jurusan Pandidikan Teknologi dan Kejuruan Drs. Basri K., M.Si NIP. 19640614 199103 1 002 LEMBARAN PENGESAHAN 1. Judul : Pengaruh penyetelan pada karburator terhadap emisi CO pada mobil toyota kijang 5 K 2. Identitas Mahasiswa: Nama : Stefanus Ama Helan N I M : 0701120943 Skripsi ini telah diuji dan dipertanggungjawabkan pada hari Selasa tanggal 02 Agustus 2011. PEMBIMBING: 1. Pembimbing I Drs. Basri K., M. Si ............................. 2. Pembimbing II Munaskop Wadyosapto, S. Pd ............................. TIM PENGUJI: 1. Ketua Drs. Basri K., M. Si ............................. 2. Anggota Munaskop Wadyosapto, S. Pd ............................. 3. Anggota Drs. Priyono ............................. Mengesahkan Ketua Jurusan Pandidikan Teknologi dan Kejuruan Drs. Basri K., M. Si NIP. 19640614 199103 1 002 Dekan FKIP Undana Pembantu Dekan I Drs. Gomer Liufeto, M.A.,Ph.D. NIP. 19550314 198003 1 003 ABSTRAK “PENGARUH PENYETELAN PADA KARBURATOR TERHADAP EMISI CO PADA MOBIL TOYOTA KIJANG 5K” Stefanus Ama Helan* Basri K** Munaskop W*** Penyetelan pada karburator terhadap emisi CO merupakan salah satu cara untuk mengetahui emisi gas buang yang dihasilkan dari proses pembakaran di dalam ruang bakar. Langkah ini sudah sering dilakukan oleh para teknisi akan tetapi tidak diikutsertakan dengan pengukuran emisi setelah melakukan penyetelan. Penyetelan pada karburator diduga dapat mempengaruhi emisi CO. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang menerapkan 3 kali pengujian tiap putaran idle adjusting mixture screw karburator 0,5 putaran bertahap dari 1 putaran hingga 6 putaran penuh. Pengujian ini dilakukan pada putaran 750, 2000, dan 3000 rpm. Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data kualitatif dan kuantitatif. Data yang dikumpulkan selanjutnya diolah secara deskriptif. Hasil pengujian secara deskriptif menunjukan bahwa dalam grafik kandungan CO (%) pada setiap putaran, penyetelan idle adjusting mixture screw karburator ternyata berpengaruh terhadap emisi CO pada gas buang, yaitu semakin dilonggarkan idle adjusting mixture screw karburator, persentase emisi CO semakin besar. Emisi CO yang diiinginkan harus sesuai dengan Kepmen Lingkungan Hidup, 2007 (CO: 2,5%). Penyetelan idle adjusting mixture screw karburator yang sesuai yaitu pada putaran 750 rpm (putaran 1 CO: 0,58%, putaran 1,5 CO: 0,63%, putaran 2 CO: 0,76%, putaran 2,5 CO: 1,60% dan putaran 3 CO: 2,48%), putaran 2000 rpm (putaran 1 CO: 1,76%, putaran 1,5 CO: 1,86%, putaran 2 CO: 1,96%, putaran 2,5 CO: 2,16% dan putaran 3 CO: 2,36%) dan putaran 3000 rpm (putaran 1 CO: 1,76%, putaran 1,5 CO: 1,93%, putaran 2 CO: 2,13%, putaran 2,5 CO: 2,33% dan putaran 3 CO: 2,46%) Berdasarkan hasil pengujian disimpulkan bahwa penyetelan pada karburator dapat mempengaruhi emisi CO. Penyetelan yang dilakukan pada putaran 750 rpm mempunyai peningkatan persentase emisi CO yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan putaran 2000, dan 3000 rpm. Penyetelan yang dilakukan agar persentase emisi CO sesuai dengan Kepmen Lingkungan Hidup, 2007 (CO: 2,5%) yaitu putaran idle adjusting mixture screw karburator tidak boleh melebihi 3 putaran idle adjusting mixture screw karburator. * Mahasiswa Program Studi Pendidikan Teknik Mesin ** Pembimbing I *** Pembimbing II ABSTRACT "SETTING THE CARBURETOR EFFECT OF CO ON EMISSION CAR TOYOTA 5K" Stefanus Ama Helan* Basri K** Munaskop W*** Adjustment on the carburetor of CO emissions is one way to find out exhaust emissions resulting from the combustion process inside the combustion chamber. This step is often done by the technicians but will not be included in the measurement of emissions after making adjustments. Setting the carburetor could be expected to affect CO emissions. This study is a research experiment that applies 3 times each round of testing adjusting the idle mixture screw 0.5 turns carburetor gradually from 1 round to 6 full rounds. Testing was done on lap 750, 2000, and 3000 rpm. Types of data collected consist of qualitative and quantitative data. Data collected subsequently treated descriptively. Test results are descriptive in the graph shows that the CO content (%) in each round, adjusting the idle mixture screw adjustment carburetor was influential on CO emissions in exhaust gases, ie adjusting the idle mixture screw loosened the carburetor, the greater the percentage of CO emissions. CO emissions are must comply with the decree of the Environment, 2007 (CO: 2.5%). Adjusting the idle mixture adjustment screw on the carburetor corresponding rotation of 750 rpm (rounds 1 CO: 0.58%, spin 1.5 CO: 0.63%, round 2 CO: 0.76%, CO 2.5 rounds: 1 , 60% and round 3 CO: 2.48%), rotation 2000 rpm (rounds 1 CO: 1.76%, spin 1.5 CO: 1.86%, round 2 CO: 1.96%, round 2, 5 CO: 2.16% and round 3 CO: 2.36%) and spin at 3000 rpm (rounds 1 CO: 1.76%, spin 1.5 CO: 1.93%, round 2 CO: 2.13% , round 2.5 CO: 2.33% and round 3 CO: 2.46%) Based on the test results concluded that the adjustment on the carburetor can affect CO emissions. Setup is done at 750 rpm rotation has increased the percentage of CO emissions are very high if compared to the round of 2000, and 3000 rpm. Setup is done so that the percentage of CO emissions in accordance with the Decree of the Environment, 2007 (CO: 2.5%) which is the cycle adjusting the idle mixture screw carburetor should not exceed three rounds of adjusting the idle mixture screw carburetor. * Students of Mechanical Engineering of Education Study Program ** Fisrt Supervisor *** Second Supervisor RIWAYAT HIDUP Nama : Stefanus Ama Helan NIM : 0701120943 Jur/Prodi : PTK/ Teknik Mesin Penulis dilahirkan di Waihelan Adonara, Flores Timur pada tanggal 26 Desember 1986. Adalah anak pertama dari Lima bersaudara dari pasangan bapak Yohanes Resi Masan dan ibu Magdalena Surat Liku. Pada tahun 1995 penulis terdaftar sebagai siswa SD Katolik Leter-Bukit Seburi dan tamat tahun 2001. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan pada SMP Negeri 1 Adonara Barat dan tamat tahun 2004. Pada tahun yang sama juga melanjutkan pendidikan pada SMK Negeri 1 Larantuka dan tamat tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan strata 1 pada Program Studi Pendidikan Teknik Mesin PTK FKIP Undana Kupang dan selesai tahun 2011. Untuk menyelesaikan studi penulis telah menyusun dan menyelesaikan skripsi dengan judul : “Pengaruh Penyetelan Pada Karburator Terhadap Emisi CO Pada Mobil Toyota Kijang 5K”. KATA PENGANTAR Puji dan syukur pantas dan layak penulis naikkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini secara spesifik menguraikan permasalahan yang berkaitan dengan emisi CO berdasarkan penyetelan pada karburator. Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Ir. Frans Umbu Datta, M. App. Sc. P.h.D selaku Rektor Universitas Nusa Cendana Kupang 2. Bapak Drs. Lukas Billi Bora, MS selaku Dekan FKIP Undana Kupang 3. Bapak Drs. Basri K., M. Si selaku ketua Jurusan PTK FKIP Undana dan pembimbing I 4. Bapak Drs. Edy Suprapto, MP selaku Ketua Program Studi Pendidikan Teknik Mesin 5. Bapak Munaskop Wadyosapto, S. Pd selaku pembimbing II 6. Bapak/ ibu dosen pada Program Studi Pendidikan Teknik Mesin 7. Bapak Ronny D. Paais selaku kepala bengkel CV. Auto Nusa Abadi Kupang 8. Bapak Sugeng M. Sarajar selaku techinal leader CV. Auto Nusa Abadi Kupang 9. Sahabat-sahabatku tersayang (Abang Kasmir,Abang Budi, Abang Julius, Dida, Jhoni, Stuul, Anton, Ka Dami, Yupong, Danil, Nando, Eman, Yalis, Jorki, Ngaji, vanty dan Rio) 10. Rekan-rekan angkatan 07 dan 08 FKIP/ PTK/ Teknik Mesin yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu 11. Semua pihak yang dengan caranya sendiri telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh kesempurnaan. Oleh sebab itu, usul, kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini penulis menerimanya dengan senang hati dan lapang dada. Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Kupang, Juli 2011 Penulis MOTO from Nothing to Something from Zero to Hero Dari yang Tidak Ada menjadi Ada Dari Nol menjadi Pahlawan PERSEMBAHAN Karya terindah ini secara khusus ku persembahkan bagi: 1. Kedua orang tuaku tersayang (Bapak Yohanes Resi Masan dan Mama Magdalena Surat Liku) 2. Keluarga besar Polo Makin (Keluarga Markus Wayong Bako, Paulus Demon Nuba, Kornelis Kopong Masang, Alowisius Bulu Ama dan Paulus Nedan) 3. Saudara/ saudariku tersayang (Igen, Tina, Miky, Maco, Rinto, Herlin, Sarti, Lensi, Andi, Dina, Yovi, Stenli, Firsa, Rili, Rivin dan Reno) 4. Seseorang yang selalu menemaniku dalam suka maupun duka (ade Sarti Dani Bao yang tersayang) 5. Almamaterku tercinta. DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL LEMBARAN PERSETUJUAN ii LEMBARAN PENGESAHAN iii ABSTRAK iv RIWAYAT HIDUP v KATA PENGANTAR vi MOTO viii PERSEMBAHAN ix DAFTAR ISI x DAFTAR TABEL xiii DAFTAR GAMBAR xiv DAFTAR DIAGRAM xv DAFTAR GRAFIK xvi BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 3 1.3 Batasan Masalah 3 1.4 Metode Penulisan 4 1.5 Tujuan dan Manfaat 4 1.6 Konsep Penelitian 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 2.1 Karburator 6 2.2 Konstruksi Dasar Karburator 8 2.3 Venturi 9 2.4 Bagian-Bagian dan Cara Kerja Karburator 11 2.5 Bahan Bakar Bensin 18 2.6 Karburasi dan Penginjeksian Bahan Bakar Untuk Motor Bakar 19 2.7 Proses Pembakaran Bahan bakar dan udara 21 2.8 Jenis Gas Buang Kendaraan Bermotor 22 2.9 Alat Penguji Gas Buang 28 2.10 Ambang Batas Emisi Gas Buang 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 32 3.1 Lokasi Penelitian 32 3.2 Populasi dan Sampel Penelitian 32 3.3 Peralatan dan Bahan 32 3.4 Teknik Pengumpulan data 35 3.5 Teknik Analisis Data 37 3.6 Diagram Alir Penelitan 38 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 39 4.1 Interpretasi Hasil Pengujian 39 4.2 Analisis Data 44 4.3 Pembahasan 50 BAB V PENUTUP 53 5.1 Kesimpulan 53 5.2 Saran 54 DAFTAR PUSTAKA 56 DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Daerah Operasi Utama 19 2. Perbandingan Udara Dan Bahan Bakar 21 3. Ambang Batas Emisi Gas Buang 31 4. Spesifikasi Mobil Toyota Kijang Seri 5 K 33 5. Spesifikasi Automotive Emission Analyzer 34 6. Persentae Emisi CO Pada Putaran 750 rpm 40 7. Persentae Emisi CO Pada Putaran 2000 rpm 41 8. Persentae Emisi CO Pada Putaran 3000 rpm 42 9. Perbandingan Emisi CO Per Putaran Mesin 42 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Konstruksi Dasar Karburator 9 2. Venturi 10 3. Karburator 11 4. Floot Circuit 12 5. Low Speed Circuit 13 6. Primary Hight Speed Circuit 14 7. Secondary Hight Speed Circuit 15 8. Acceleration Circuit 17 9. Smoke Meter 28 10. Daerah Gelombang Penyinaran Inframerah 29 11. Cara Kerja CO Meter Inframerah 30 DAFTAR DIAGRAM Diagram Halaman 1.aAlir Penelitian 38 DAFTAR GRAFIK Grafik Halaman 1. Persentase Emisi CO Pada Putaran 750 rpm 44 2. Persentase Emisi CO Pada Putaran 2000 rpm 46 3. Persentase Emisi CO Pada Putaran 3000 rpm 47 4. Perbandingan Emisi CO Per Putaran Mesin 49 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini udara yang dihirup manusia semakin tidak besahabat, banyak polusi udara terjadi di mana-mana yang disebabkan oleh banyak hal antara lain: asap kendaraan, asap pabrik, pembakaran sampah dan sebagainya. Asap kendaraan merupakan penyebab terbesar terjadinya polusi di udara. Persoalan ini merupakan isu sentral yang mendapat perhatian serius semua pihak dalam penanggulangannya. Kesadaran masyarakat akan pencemaran udara akibat gas buang kendaraan bermotor di kota-kota besar saat ini makin tinggi. Dari berbagai sumber bergerak seperti mobil penumpang, truk, bus, lokomotif kereta api, kapal terbang, dan kapal laut. Kendaraan bermotor saat ini maupun di kemudian hari akan terus menjadi sumber yang dominan dari pencemaran udara di perkotaan. Di DKI Jakarta, kontribusi bahan pencemar dari kendaraan bermotor ke udara adalah sekitar 70%. Namun sekarang ini masalah pencemaran sudah bisa kita rasakan sampai ke kota-kota lain di Indonesia salah satunya adalah kota Kupang yang tingkat pencemarannya semakin meningkat. Hal ini didasarkan pada peningkatan jumlah penduduk atau peningkatan konsumen/ pemilik kendaraan bermotor. Jumlah penduduk kota Kupang tahun 2007 sebanyak 282.035 jiwa atau diperkirakan pada tahun 2012 penduduk kota Kupang akan mencapai 326.220 jiwa dengan luas wilayah 18,2 km2 atau sekitar 18.027 ha (Zakarias, 2009). Resiko kesehatan yang dikaitkan dengan pencemaran udara di perkotaan secara umum, banyak menarik perhatian dalam beberapa dekade belakangan ini. Di banyak kota besar, gas buang kendaraan bermotor menyebabkan ketidaknyamanan pada orang yang berada di tepi jalan dan menyebabkan masalah pencemaran udara pula. Beberapa studi epidemiologi dapat menyimpulkan adanya hubungan yang erat antara tingkat pencemaran udara perkotaan dengan angka kejadian (prevalensi) penyakit pernapasan. Pengaruh dari pencemaran khususnya akibat kendaraan bermotor tidak sepenuhnya dapat dibuktikan karena sulit dipahami dan bersifat kumulatif. Kendaraan bermotor akan mengeluarkan berbagai jenis gas maupun partikulat yang terdiri dari berbagai senyawa anorganik dan organik dengan berat molekul yang besar yang dapat langsung terhirup melalui hidung dan mempengaruhi masyarakat di jalan raya dan sekitarnya. (Lestari P, 2007). Cara yang ditempuh untuk mengurangi angka polusi di udara yang disebabkan oleh asap kendaraan yaitu mengatur proses pembakaran di dalam selinder dengan melakukan penyetelan pada karburator. Meskipun banyak sekali macam dan jenis karburator yang dapat digunakan yaitu masing-masing dengan konstruksi berbeda sesuai dengan tujuan penggunaannya, prestasi mesin yang mempergunakannya dan sesuai selera perencanaannya, namun fungsi dan prinsip kerjanya tetap sama. Fungsi dari karburator adalah mengatur pemasukan, pencampuran dan pengabutan bensin ke dalam arus udara sehingga diperoleh perbandingan campuran yang sesuai dengan keadaan beban dan kecepatan poros engkol. Campuran itu harus homogen dan perbandingannya sama untuk tiap-tiap selinder. Penyetelan pada karburator, sangat mempengaruhi emisi CO pada gas buang dan penyetelan yang tidak sesuai akan menimbulkan emisi CO yang berlebihan pada gas buang sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Untuk itu dalam melakukan penyetelan pada karburator, sebaiknya dilakukan pengukuran emisi CO agar diketahui berapa besar emisi CO yang ditimbulkan pada gas buang. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis mengambil judul “Pengaruh Penyetelan Pada Karburator Terhadap Emisi CO Pada Mobil Toyota Kijang 5 K”. 1.2 Rumusan Masalah Agar lebih jelas dan terarah permasalahannya, maka masalah yang akan dibahas adalah apakah ada pengaruh penyetelan pada karburator terhadap emisi CO. 1.3 Batasan Masalah Ada permasalahan dalam penelitian ini antara lain, yaitu: a. penyetelan pada karburator dilakukan pada Mobil Toyota Kijang Seri 5 K. b. pengujian emisi CO dilakukan dengan cara melonggarkan idle adjusting mixture screw karburator 0,5 putaran bertahap dari 1 putaran sampai 6 putaran penuh. c. pengujian emisi CO dilakukan pada putaran 750, 2000, dan 3000 rpm dengan cara memutar idle adjusting speed screw karburator. 1.4 Metode Penulisan Dalam penulisan proposal ini digunakan metode kepustakaan yang sumber penulisannya dihimpun dari beberapa literatur yang diperoleh. 1.5 Tujuan dan Manfaat 1.5.1 Tujuan Adapun tujuan dari penulisan proposal ini, yaitu: a. untuk mengetahui pengaruh penyetelan pada karburator terhadap emisi CO pada putaran 750 rpm, b. untuk mengetahui pengaruh penyetelan pada karburator terhadap emisi CO pada putaran 2000 rpm, dan c. untuk mengetahui pengaruh penyetelan pada karburator terhadap emisi CO pada putaran 3000 rpm. 1.5.2 Manfaat Adapun manfaat dari penulisan proposal ini, yaitu: a. sebagai bahan informasi bagi para pemilik kendaraan bermotor dan teknisi tentang perlu adanya penyetelan pada karburator yang tepat karena sangat berpengaruh terhadap emisi CO. b. mengetahui pengaruh penyetelan pada karburator terhadap emisi CO. 1.6 Konsep Penelitian a. karburator Karburator adalah salah satu bagian yang sangat penting dari sebuah motor bensin yang berfungsi untuk mengkarburasi bahan bakar dan udara menjadi partikel-partikel kecil. b. bensin (gasoline) Bensin adalah bahan bakar yang digunakan untuk proses pembakaran pada motor otto atau motor bensin. c. emisi Emisi adalah zat, energi dan atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan atau dimasukkannya ke dalam udara ambient yang mempunyai potensi sebagai unsur pencemar. d. gas buang kendaraan bermotor Zat sisa proses pembakaran motor bakar yang dikeluarkan melalui knalpot ke udara ambient. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karburator Ada tiga syarat yang harus dipenuhi unutk motor bensin, agar tenaga yang dihasilkan dapat tercapai dengan baik, yaitu: tekanan kompresi yang tinggi, waktu pengapian yang tepat dan percikan bunga api busi yang kuat, dan campuran udara dan bahan bakar yang sesuai (Anonim, 2003). Tenaga pada motor bensin diperoleh dari pembakaran campuran bahan bakar dengan udara dalam selinder. Udara dan bahan bakar bensin dicampurkan menurut kondisi tertentu di dalam karburator (Karyanto, 1994). Karburator adalah tempat pencampuran bahan bakar dengan udara. Pencampuran tersebut terjadi karena bahan bakar terhisap masuk atau disemprotkan ke dalam arus udara segar yang masuk ke dalam karburator. Campuran bahan bakar dan udara kemudian masuk ke dalam selinder dan dinyalakan oleh loncatan api listrik dari busi, menjelang akhir langkah kompresi. Pembakaran udara dan bahan bakar ini menghasilkan daya (Arismunandar, 2002). Bentuk dasar dari karburator dibagi dalam dua bagian yaitu ruang campuran (mixture chamber) di mana bahan bakar bensin dicampur dengan udara dan ruang pelampung (float chamber) di mana tersimpan sejumlah bensin dalam volume tetap. Di bagian tengah ruang pencampur (mixture chamber) terdapat penampang yang kecil, bagian ini disebut venturi. Pengabut utama (main nozzle) yang terletak di tengah venturi akan mengeluarkan bensin pada saat motor berada di atas putaran idling. Di sebelah bawahnya terdapat katup gas (throttle valve) dan pengabut (nozzle) untuk kecepatan rendah. Katup gas ini merupakan katup yang berbentuk piringan yang berfungsi mengatur jumlah bahan bakar bensin dan udara yang akan masuk ke dalam selinder motor (Karyanto, 1994). Katup gas dihubungkan dengan lengan pedal akselerasi (pedal gas). Katup choke (choke valve) terletak di atas venturi dan berfungsi mengatur jumlah udara yang akan masuk ke dalam karburator (Husni & Herdiman, 1981). Ruang pelampung (float chamber) merupakan suatu tempat untuk menampung bahan bakar bensin dan di dalamnya terdapat pelampung dan katup jarum (needle valve). Pada saat langkah isap, tekanan di dalam selinder akan turun. Akibatnya perbedaan tekanan ini udara mengalir kedalam selinder melalui saringan udara, karburator dan saluran masuk (intake manifold) (Husni & Herdiman, 1981). Karena udara yang masuk ke dalam selinder melalui saluran penyempit pada venturi. Kecepatannya bertambah dan tekanannya menurun sehingga bensin keluar melalui pengabut utama (main nozzle). Kemudian bensin tadi tertiup oleh udara yang deras dan terjadilah penguapan yang masuk ke ruang bakar melalui saluran masuk (Husni & Herdiman, 1981). Menyetel karburator merupakan langkah yang penting dan ini termasuk dalam prosedur pengaturan pengapian mesin, sudah waktunya untuk menyetel karburator, apabila mobil memperlihatkan gejala-gejala seperti berikut: a. pada waktu mesin dipelankan untuk menghentikan mobil atau saat memindahkan versenelling mobilnya melonjak, b. meskipun stop kontak sudah dimatikan, mesin cenderung untuk berjalan terus, c. pada waktu menancap gas, mesin agak tersendat-sendat. Akan tetapi mesin berjalan terlalu cepat pada idle speed. Hal ini terjadi karena campuran udara dan bahan bakar teralu tinggi sehingga mengeluarkan banyaknya asap (Daryanto, 1999). 2.2 Konstruksi Dasar Karburator Bila torak bergerak ke bawah di dalam selinder selama langkah hisap pada mesin akan menyebabkan kevakuman di dalam ruang bakar. Dengan terjadinya kevakuman ini udara masuk ke ruang bakar melalui karburator. Besarnya udara yang masuk ke selinder diatur oleh katup throttle, yang gerakannya diatur oleh pedal akselerasi, seperti pada Gambar 1 (Anonim, 2003). Bertambah cepatnya aliran udara yang masuk melalui saluran yang sempit (disebut venturi), tekanan pada venturi menjadi rendah. Hal ini menyebabkan bensin dalam ruang pelampung mengalir keluar melalui saluran utama (main nozzle) ke ruang bakar (Anonim, 2003). Jumlah udara maksimum yang masuk ke karburator terjadi saat mesin berputar pada kecepatan tinggi dengan posisi katup throttle terbuka penuh. Kecepatan udara yang bergerak melalui venturi bertambah dan memperbesar jumlah bensin yang keluar melalui main nozzle (Anonim, 2003). Gambar 1. Konstruksi dasar karburator Sumber: Anonim, 2003 2.3 Venturi Karena udara yang keluar dari ujung tabung sama dengan saat udara masuk ke dalam tabung, udara yang melalui venturi harus lebih besar kecepatannya dibanding dari tempat lainnya, sebab venturi menyempit. Hal ini juga bertujuan agar tekanan udara dalam venturi lebih rendah dibanding dengan bagian lainnya dalam tabung (lihat Gambar 2) (Anonim, 2003). Dalam karburator bahan bakar disalurkan dari main nozzle disebabkan rendahnya tekanan (terjadi kevakuman) dalam venturi (Anonim, 2003). Gambar 2. Venturi Sumber: Anonim, 2003 2.4 Bagian-Bagian dan Cara Kerja Karburator Gambar 3. Karburator 1. Power piston 2. Slow jet 3. Katup solenoid 4. Breaker cuk 5. Nozel utama primer 6. Katup cuk 7. Jet pompa 8. Nozel utama sekunder 9. Pemberat (discharge weight) 10. Plunyer pompa 11. Katup termostat 12. Katup jarum 13. Pelampung 14. Power valve (katup tenaga) 15. Jet utama primer 16. Power jet (jet penambah tenaga) 17. Sekrup penyetel campuaran idle 18. Sumbat 19. Slow port 20. Idle port 21. Katup trotel primer 22. Katup trotel sekunder 23. Katup putaran tinggi 24. Jet utama sekunder Sumber: Anonim, 1996 2.4.1 Sistem Pelampung (Float Circuit) Pada Gambar 4 terlihat sistem pelampung (float circuit) yang berfungsi menampung bensin yang diberikan pompa untuk sementara waktu (temporer). Bila bensin telah terpakai, maka pelampung (float) akan turun dan katup dalam (needle valve) akan membuka, sehingga bensin dapat masuk ke dalam ruang pelampung (float chamber). Setelah bensin mencapai volume tertentu dimana pelampung (float) akan terangkat kembali, katup jarum (needle valve) akan menutup saluran masuk dan penyaluran bensin akan terhenti (Husni & Herdiman, 1981). Gambar 4. Float circuit Sumber: Anonim, 1993 2.4.2 Sistem Putaran Lambat (Low Speed Circuit) Sistem kecepatan rendah (low speed circuit) (Gambar 5) berfungsi menyediakan pada saat putaran mesin masih rendah. Pada waktu putaran idling dimana pedal akselerasi tidak ditekan sehnigga udara yang melalui venturi hanya bergerak lambat dan pengabut (main nozzle) tidak menyalurkan bensin. Dalam keadaan ini, bila torak melakukan langkah isap, akan terjadi kehampaan udara yang besar di bawah katup gas (throttle valve), sehingga bensin akan terbawa melalui jet utama (main jet), jet kecepatan rendah (low jet), bercampur dengan uadara dari saluran udara (air bleeders) dan keluar melalui saluran idle (idle port), terus masuk ke dalam selinder. Hal tersebut akan menghasilkan campuran kaya yang memang dibutuhkan pada putaran idling agar dapat idling yang lembut (Husni & Herdiman, 1981). Gambar 5. Low speed circcuit Sumber: Anonim, 1993 2.4.3 Sistem Putaran Cepat Primer (Primary Hight-Speed Circuit) Pada waktu katup gas (throttle valve) mulai mmbuka dan udara makin cepat, maka tekanan pada ujung pengabut menjadi lebih rendah dari tekanan di dalam ruang pelampung. Akibat perbedaan tekanan ini, bensin akan keluar dari pengabut (nozzle) dan dipecahkan menjadi partikel-partikel kecil oleh arus udara tadi untuk kemudian terbawah masuk kedalam selinder. Sistem putaran cepat (Primary hight-speed circuit) biasanya dilengakapi dengan saluran udara (main air bleeder) yang terletak di tengah saluran bensin untuk menyempurnakan proses pencampuran bahan bakar dengan cara membentuk gelombang-gelombang udara yang kecil seperti pada Gambar 6 (Husni & Herdiman, 1981). Gambar 6. Primary hight-speed circuit Sumber: Anonim, 1993 2.4.4 Sistem Putaran Tinggi Sekunder (Secondery Hight-Speed Circuit Pada saat putaran motor semakin cepat sistem putaran cepat primer (primary hight-speed circuit) sudah tidak mampu lagi menyediakan campuran yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Pada saat ini katup gas sekunder (sekundery thorottle valve) akan membuka dengan bantuan mekanisme tuas penghubung atau dapat pula dengan bantuan vakum (kehampaan). Dengan terbukanya katup gas sekunder (sekundery thorottle valve), maka di bawah katup putaran tinggi (hight speed valve) akan terjadi kehampaan. Hal ini menimbulkan perbedaan diatas katup putaran tinggi (hight speed valve) dan di bawahnya. Tetapi karena katup putaran tinggi (hight speed valve) dibebani bandul tertentu maka terbuka setelah perbedaan tekanan tersebut mampu melawan berat bandul tersebut. Setelah katup putaran tinggi (hight speed valve) terbuka dan terjadi arus uadara melalui venturi sekunder (secondary venturi), tekanan di ujung venturi sekunder (secondery venturi) turun, sehingga bensin akan keluar dari pengabut (nozzle) dan dipecahkan menjadi partikel yang sangat kecil dan terbawah ke dalam selinder seperti pada Gambar 7 (Husni & Herdiman,1981). Gambar 7. Secondery hight-speed circuit Sumber: Anonim, 1993 2.4.5 Sistem Tenaga (Power Circuit) Sistem tenaga (Power Circuit) berfungsi menambah jumlah bensin yang keluar dari pengabut (nozzle) pada sistem putaran cepat primer (primary hight-speed circuit) agar menghasilkan output yang lebih besar dan dapat memelihara bahan bakar pada saat motor berputar dengan kecepatan tinggi (Husni & Herdiman, 1981). Pada sirkuit ini, katup tenaga (power valve) dipasang berhadapan dengan jet tenaga (power jet) untuk menyalurkan dan menghentikan aliran bensin yang menuju putaran cepat primer (primary hight-speed). Gerakan ini diperoleh dengan bantuan mekanisme tuas penghubung atau dapat juga dengan vakum (Husni & Herdiman,1981). 2.4.6 Sistem Percepatan (Acceleration Circuit) Sistem percepatan (acceleration circuit) berfungsi mengatasi terjadinya campuran yang kurus pada saat katup gas (throttle) membuka secara mendadak, dengan jalan memberikan sejumlah bahan bakar yang diperlukan untuk percepatan (acceleration) (Karyanto, 1994). Bila pedal akselerasi ditekan maka dengan melalui tuas penghubung, pompa percepatan akan tertekan ke bawah dan bensin akan keluar melalui saluran by-pas (by-pas jet) sehingga campuran menjadi kaya. Kemudian bila pedal akselerasi dilepas, pompa akan menghisap bensin dari ruang pelampung (float chamber) melalui katup peluru (check ball) dan bensin memenuhi ruang pompa untuk persediaan akselerasi berikutnya seperti pada Gambar 8 (Husni & Herdiman, 1981). Gambar 8. Acceleration circuit Sumber: Anonim, 1993 2.4.7 Sistem Choke (Choke Circuit) Sistem choke (Choke Circuit) digunakan pada saat motor dalam keadaan dingin. Pada saat ini motor sukar dihidukan karena uap bensin melekat pada dinding saluran masuk (intake manifol sebelum masuk ke selinder. Campuran masuk ke dalam selinder menjadi kurus. Katup choke (choke valve) menutup saluran masuk udara (air horn inlet) sehingga pada waktu di start, terjadi kehampaan di bawah katup choke (choke valve). Hal ini menyebabkan bensin keluar dari putaran rendah (low speed) dan sistem putaran cepat primer (primary hight-speed circuit), sehingga terjadilah campuran yang kaya (Husni & Herdiman, 1981). 2.5 Bahan Bakar Bensin Lima jenis bensin berdasarkan kelas velolitas yang diproduksi di Indonesia adalah sebagai berikut: a. bensin premium 88 yang mempunyai angka oktan riset minimum 88, berwarna kuning dengan pengungkit oktan TEL maksimum 1,5 ml galon Amerika bensin. b. bensin premix 94 yang mempunyai angka oktan riset minimum 94, berwarna orange, menggunakan pengungkit oktan TEL dengan kandungan Pb maksimum 0,45 gr/l dan metil terser butil eter (MTBE) maksimum 15% volum. c. bensin super TT yang mempunyai angka oktan riset minimum 95, tidak berwarna dan tidak mengandung TEL, dapat ditambahkan 10% volum untuk memenuhi spesifikasi angka oktan. d. bensin prima TT yang mempunyai angka oktan riset 98, tidak berwarna dan tidak mengandung TEL. Dapat ditambahkan MTBE maksimum 15% volume untuk memenuhi spesifikasi angka oktan. e. bensin petro 2T mempunyai angka oktan riset 72, berwarna hijau dengan kandungan timbal (Pb) maksimum 0,1 kg/l. Ditambahkan MTBE maksimum 15% volum untuk memenuhi spesifikasi angka oktan. Bensin ini khusus digunakan untuk mesin motor bakar dua langkah. 2.6 Karburasi dan Penginjeksian Bahan Bakar untuk Motor Bakar Pada motor bakar torak penyalaan cetus api, adalah hal yang relatif sederhana untuk mengsuplai bahan bakar gas dalam propulsi yang sesuai dengan udara begitu beban berubah. Tetapi, pengukuran jumlah aliran (metering), pengatoman, dan pendistribusian bahan bakar cair, khususnya pada motor bakar aneka selinder (multi cylinder), ini semua lebih sulit. Hanya pada sejumlah penggunaan terbatas motor bakar dihadapkan pada kebutuhan beban tunak (steady) yang dapat dipenuhi oleh laju aliran bahan bakar dan udara yag tetap. Pada kebanyakan instalasi stasioner bebannya adalah bervariasi dan pada propulsi otomotif khususnya, kepesatan dan beban harus bervariasi (Bernad & Zulkifli, 1987). Untuk motor bakar torak penyalaan cetus api adalah hal yang biasa untuk mengcekik (throttle) atau menghambat suplai udara untuk menghindarkan campuran yang terlalu miskin pada beban-beban yang lebih rendah dan memakai udara sebanyak mungkin hanya bila dibutuhkan beban maksimum. Daerah operasi utama dirampung pada Tabel 1 (Bernad & Zulkifli, 1987). Tabel 1. Daerah Operasi Utama Jangka Operasi Faktor Pengatur Perbandingan Udara-Bahan Bakar Tanpa beban (idling) Pengenceran campuran oleh hasil-hasil pembakaran Kaya Daya normal Keekonomisan Sedikit miskin Daya Maksimum Pemakaian udara sepenuhnya Kaya Sumber: Bernad & Zulkifli, 1987. Selama periode tanpa beban (idling) atau kebutuhan tanpa beban, suplai udara dicekik. Gas volume sisa yang pada dasarnya mulia merupakan bagian terbesar isian pada akhir periode pengisapan. Disamping itu, karena tekanan di dalam selinder sangat rendah selama pengisapan, gas-gas buang dihisap kembali ke dalam selinder selama periode tumpang tindih katup (valve-overlap), yaitu sewaktu baik katup masuk maupun katup buang dalam keadaan terbuka. Akibatnya adalah bahwa pencampuran udara dan bahan bakar secara kimia tepat akan diencerkan oleh gas mulia sehingga pembakaran akan tidak teratur atau tidak mungkin terjadi, campuran kaya (lebih banyak bahan bakar daripada jumlah yang secara kimia tepat untuk oksigen yang tersedia) harus disuplai. Dalam hal apapun situasi menunggu (stand-by) adalah tidak ekonomis, tetapi keharusan untuk memperoleh campuran kaya membuat situasi tersebut lebih boros, dan sangat menunjang pencemaran yang diakibatkan oleh motor bakar penyalaan cetus api (Bernad & Zulkifli, 1987). Pada jangka (range) daya normal, yang secara kasarnya dari 25-75% dari tekanan efektif rata-rata indikator maksimum yang mungkin, pertimbangan utama biasanya adalah untuk keekonomisan bahan bakar. Karena campuran bahan bakar dan udara tidak perna sama sekali homogen, dan karena gradien temperatur di dalam selinder mengacaukan pembakaran yang seragam, campuran bahan bakar yang secara kimia tepat (stoichiometrik) tidak akan terbakar sempurna dan sebagian bahan bakar akan terbuang. Untuk alasan ini udara berlebih (excess air), 5-10% di atas kebutuhan yang secara kimia tepat, disuplai untuk menghindarkan pembakaran yang tidak sempurna (Bernad & Zulkifli, 1987). Pada Tabel 2 dijelaskan perbandingan bahan bakar dan udara sesuai dengan kondisi kerja mesin. Perbandingan bahan bakar terhadap udara yang secara kimia tepat untuk kebanyakan gasolin adalah antara 0,066 dan 0,068 pada basis massa. Bobot spesifik uap bahan bakar adalah lebih besar daripada bobot spesifik udara dan disamping itu, sebagian besar bahan bakar masih dalam keadaan cair selama pengisapan isian. Jadi volume udara yang dapat disuplai adalah faktor yang membatasi keluaran daya maksimum untuk motor bakar. Untuk menjamin pemanfaatan semua oksigen yang dapat disuplai, dibutuhkan perbandingan bahan bakar terhadap udara yang kaya (Bernad & Zulkifli, 1987). Tabel 2. Perbandingan Udara Dan Bahan Bakar Kondisi Kerja Mesin Perbandingan Udara dan Bahan Bakar Saat star temperatur 00C Kira-kira 1 : 1 Saat star temperatur 200C Kira-kira 5 : 1 Saat idling Kira-kira 11 : 1 Putaran lambat 12-13 : 1 Akselerasi Kira-kira 8 : 1 Putaran max (beban penuh) 12-13 : 1 Putaran sedang 16-18 : 1 Sumber: New Steep I, 2003. 2.7 Proses Pembakaran Bahan Bakar Dan Udara Proses pembakaran bahan bakar dimulai saat terjadinya percikan bunga api pada busi dalam ruang silinder. Ruang silinder tersebut berisikan campuran bahan bakar dan udara yang telah dikompresikan oleh torak. Untuk melaksanakan pembakaran, sebenarnya tidak selamanya tepat saat torak mencapai titik puncaknya, akan tetapi untuk mendapatkan tenaga yang maksimal dengan bahan bakar yang efisien, penyalaan harus tepat sesuai dengan kerja motor. Campuran bahan bakar dan udara harus selesai dan terbakar sempurna sehingga langkah usaha oleh adanya ledakan dari proses pembakaran dapat dicapai dengan maksimal. Campuran bahan bakar dan udara tidak akan langsung terbakar, membutuhkan waktu beberapa saat untuk membakar keseluruhan dari campuran tersebut. Selang waktu ini disebut keterlambatan pembakaran. Keterlambatan pembakaran disebabkan karena proses pembakaran bahan bakar dan udara memerlukan waktu. Setelah pembakaran dimulai, penyebaran api dilanjutkan keseluruh bagian dari ruang bakar. Pembakaran berlangsung normal apabila campuran bahan bakar dan udara di dalam silinder terbakar habis dengan waktu yang relatif konstan (Anonim, 1993). 2.8 Jenis Gas Buang Kendaraan Bermotor Udara adalah suatu campuran gas buang yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Komposisi campuran tersebut tidak selalu konstan. Komponen yang konsentrasinya paling bervariasi adalah air dalam bentuk H2O dan karbondioksida (CO2). Jumlah uap air yang terdapat di udara bervariasi tergantung dari cuaca dan suhu. Sumber polusi yang utama berasal dari transportasi, dimana hampir 60% dari polutan yang dihasilkan terdiri dari karbon monoksida dan sekitar 15% terdiri atas hidrokarbon. Sumber-sumber polusi lainnya misalnya pembakaran, proses industri, pembuangan limbah, dll. Polutan yang utama adalah karbon monoksida yang mencapai hampir setengahnya dari seluruh polutan yang ada (Srikandi, 1992). Bahan pencemar (polutan) yang berasal dari kendaraan bermotor dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori sebagai berikut: a. Sumber Polutan dibedakan menjadi polutan primer atau sekunder. Polutan primer seperti: SOX, NOX dan HC langsung dibuang ke udara bebas dan mempertahankan bentuknya seperti pada saat pembuangan. Polutan sekunder seperti: O3 dan PAN adalah polutan yang terbentuk di atmosfer melalui reaksi fotokimia, hidrolisasi atau oksidasi. b. Komposisi kimia Polutan dibedakan menjadi organik dan inorganik. Polutan organik mengandung karbon dan hidrogen juga beberapa elemen seperti oksigen, nitrogen, sulfur atau fosfor, contohnya hidrokarbon, keton, alkohol, ester, dll. Polutan inorganik seperti CO, karbonat, nitrogen oksida, ozon, dan lainnya. c. Bahan penyusun Polutan dibedakan menjadi partikulat atau gas. Partikulat dibagi menjadi padatan dan cairan seperti debu, asap, abu, kabut dan spray. Partikulat dapat bertahan di atmosfir. Sedangkan polutan berupa gas tidak tertahan di atmosfer dan bercampur dengan udara bebas. 2.8.1 Hidrokarbon Bensin adalah senyawa hidrokarbon, jadi setiap HC yang didapat di gas buang kendaraan menunjukkan adanya bensin yang tidak terbakar dan terbuang bersama sisa pembakaran. Apabila suatu senyawa hidrokarbon terbakar sempurna (bereaksi dengan oksigen) maka hasil reaksi pembakaran tersebut adalah CO2 dan H2O. Walaupun rasio perbandingan antara udara dan bensin (AFR=Air-to-Fuel-Ratio) sudah tepat dan didukung oleh desain ruang bakar mesin saat ini yang sudah mendekati ideal, tetapi tetap saja sebagian dari bensin seolah-olah tetap dapat bersembunyi dari api saat terjadi proses pembakaran dan menyebabkan emisi HC pada ujung knalpot cukup tinggi (Wiratama, 2008). Untuk mobil yang tidak dilengkapi dengan Catalytic Converter (CC), emisi HC yang dapat ditolerir adalah 500 ppm dan untuk mobil yang dilengkapi dengan CC, emisi HC yang dapat ditolerir adalah 50 ppm (Wiratama, 2008). Emisi HC ini dapat ditekan dengan cara memberikan tambahan panas dan oksigen di luar ruang bakar untuk menuntaskan proses pembakaran. Proses injeksi oksigen tepat setelah exhaust port akan dapat menekan emisi HC secara drastis (Wiratama, 2008). Apabila emisi HC tinggi, menunjukkan ada tiga kemungkinan penyebabnya yaitu CC yang tidak berfungsi, AFR yang tidak tepat (terlalu kaya) atau bensin tidak terbakar dengan sempurna di ruang bakar. Apabila mobil dilengkapi dengan CC, maka harus dilakukan pengujian terlebih dahulu terhadap CC dengan cara mengukur perbedaan suhu antara inlet CC dan outletnya. Seharusnya suhu di outlet akan lebih tinggi minimal 10% daripada inletnya (Wiratama, 2008). Apabila CC bekerja dengan normal tapi HC tetap tinggi, maka hal ini menunjukkan gejala bahwa AFR yang tidak tepat atau terjadi misfire. AFR yang terlalu kaya akan menyebabkan emisi HC menjadi tinggi. Ini biasa disebabkan antara lain kebocoran fuel pressure regulator, setelan karburator tidak tepat, filter udara yang tersumbat, sensor temperature mesin yang tidak normal dan sebagainya yang dapat membuat AFR terlalu kaya. Injector yang kotor atau fuel pressure yang terlalu rendah dapat membuat butiran bensin menjadi terlalu besar untuk terbakar dengan sempurna dan ini juga akan membuat emisi HC menjadi tinggi. Apapun alasannya, AFR yang terlalu kaya juga akan membuat emisi CO menjadi tinggi dan bahkan menyebabkan outlet dari CC mengalami overheat, tetapi CO dan HC yang tinggi juga bisa disebabkan oleh rembasnya pelumas ke ruang bakar (Wiratama, 2008). 2.8.2 Karbon Monoksida (CO) Gas karbon monoksida adalah gas yang relatif tidak stabil dan cenderung bereaksi dengan unsur lain. Karbon monoksida dapat diubah dengan mudah menjadi CO2 dengan bantuan sedikit oksigen dan panas. Saat mesin bekerja dengan AFR yang tepat, emisi CO pada ujung knalpot berkisar 0,5-1% untuk mesin yang dilengkapi dengan sistem injeksi atau sekitar 2,5% untuk mesin yang masih menggunakan karburator. Dengan bantuan air injection system atau CC, maka CO dapat dibuat serendah mungkin mendekati 0% (Wiratama, 2008). Apabila AFR sedikit saja lebih kaya dari angka idealnya (AFR ideal = lambda = 1, 00) maka emisi CO akan naik secara drastis. Jadi tingginya angka CO menunjukkan bahwa AFR terlalu kaya dan ini bisa disebabkan, antara lain masalah di fuel injection system seperti fuel pressure yang terlalu tinggi, sensor suhu mesin yang tidak normal, air filter yang kotor, PCV system yang tidak normal, karburator yang kotor atau setelannya yang tidak tepat. (Wiratama, 2008). 2.8.3 Karbon Dioksida (CO2) Konsentrasi CO2 menunjukkan secara langsung status proses pembakaran di ruang bakar. Semakin tinggi maka semakin baik. Saat AFR berada di angka ideal, emisi CO2 berkisar antara 12-15%. Apabila AFR terlalu kurus atau terlalu kaya, maka emisi CO2 akan turun secara drastis. Apabila CO2 berada di bawah 12%, maka kita harus melihat emisi lainnya yang menunjukkan apakah AFR terlalu kaya atau terlalu kurus (Wiratama, 2008). Perlu diingat bahwa sumber dari CO2 ini hanya ruang bakar dan CC. Apabila CO2 terlalu rendah tapi CO dan HC normal, menunjukkan adanya kebocoran exhaust pipe (Wiratama, 2008). 2.8.4 NOx Senyawa NOx ini sangat tidak stabil dan bila terlepas ke udara bebas, akan berikatan dengan oksigen untuk membentuk NOx. Inilah yang amat berbahaya karena senyawa ini amat beracun dan bila terkena air akan membentuk asam nitrat (Wiratama, 2008). Tingginya konsentrasi senyawa NOx disebabkan karena tingginya konsentrasi oksigen ditambah dengan tingginya suhu ruang bakar. Untuk menjaga agar konsentrasi NOx tidak tinggi, maka diperlukan kontrol secara tepat terhadap AFR dan suhu ruang bakar harus dijaga agar tidak terlalu tinggi baik dengan EGR maupun long valve overlap. Normalnya NOx pada saat idle tidak melebihi 100 ppm. Apabila AFR terlalu kurus, timing pengapian yang terlalu tinggi atau sebab lainnya yang menyebabkan suhu ruang bakar meningkat, akan meningkatkan konsentrasi NOx dan ini tidak akan dapat diatasi oleh CC atau sistem EGR yang canggih sekalipun (Wiratama, 2008). 2.9 Alat Uji Emisi Karbon Monoksida Alat penguji gas buang digunakan untuk mengukur susunan zat dari gas buang. Alat ini juga dipakai untuk menetapkan apakah campuran yang dihisap miskin, baik atau terlalu kaya. Alat penguji ini akan memberikan hasil baik bila instalasi pengapian serta alat-alat mekanisnya dalam keadaan baik (Arends & Berenschot, 1980). CO meter bekerja dengan sinar inframerah atau ultraviolet. Pada meteran ini digunakan prinsip bahwa gas-gas dapat menyerap sinar inframerah dari sinar gelombang tertentu. Kejadian ini dapat disamakan dengan katup yang mengisap sinar matahari. Sinar inframerah itu merupakan sinar panas. CO meter seperti ini dapat dikenal dari skala CO di mana hanya dicantumkan prosentase volumenya. Skala perbandingan untuk perbandingan campuran antara udara dan bensin kebanyakan tidak ada. Tetapi kadang-kadang juga ada (lihat Gambar 9). Gambar 9. Smoke meter Sumber: Arends & Berenschot, 1980 Gambar 10. Daerah gelombang penyinaran inframerah Sumber: Arends & Erenschot, 1980 Dari Gambar 10, dapat dilihat bahwa gelombang untuk CO adalah 4,7 (mikron). Ini berarti hanya sinar inframerah dengan gelombang 0,004 mm sampai 0,005 mm yang dapat diserap oleh emisi CO. Penyinaran tidak dipengaruhi oleh mesin lain di dalam gas buang, sedangkan konsentrasi emisi CO dapat diukur dengan teliti (Arends & Berenschot, 1980). Cara kerjanya (Gambar 11), adalah sebagai berikut: Alat pengukurnya terdiri dari dua ruang analisis M1 dan ruang pembanding M2, diatas tiap ruang dipasang penyinar inframerah. Gas buang disalurkan melalui pipa analisisnya. Di dalam ruang pembanding terdapat gas yang dapat dilalui oleh sinar inframerah tanpa hambatan. Di antara penyinar inframerah dan ruang dipasang piringan yang berputar, yang dapat memutuskan pennyinaran sebanyak 12,5 kg tiap detik. Di bagian bawah tiap-tiap ruang terdapat ruang ukur E. Alat ini terbagi dua oleh suatu kondensator (Arends & Berenschot, 1980). Karena di dalam ruang pembanding tidak dapat diserap sinar inframerah, sedangkan dalam ruang analisis dapat (hanya tergantung dari jumlah emisi CO dalam gas buang), terjadilah selisi kekuatan dari sinar inframerah dalam ruang ukur. Di dalam kedua bagian dari ruang ukurnya terjadi selisih suhu yang mengakibatkan terjadinya silisih tekanan. Dengan demikian maka kedudukan kondesator membrannya berubah, perubahan disebabkan piringan yang berputar di bawah pemancar inframerah terjadi 12,5 kg tiap detik. Dengan demikian kapasitas dari kondesator berubah dan terjadilah perubahan di dalam kekuatan arus. Arus ini lalu diperkuat dan disalurkan pada meteran. Makin besar persentase emisi CO di dalam gas buang, makin besar selisih tekanan dalam ruang ukur, yang mengakibatkan putaran pada jarum meternya (lihat Gambar 11). Gambar 11. Cara kerja CO meter inframerah Sumber: Arends & Berenschot, 1980 2.10 Ambang Batas Emisi Gas Buang Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas maksimum zar atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tahun 2007 Tentang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan yang sedang diproduksi (current production) memberikan batasan untuk kendaraan roda 4 dan 4 langkah diberikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Ambang Batas Emisi Gas Buang Kategori Parameter CO (%) Kendaraan roda 4 (4 langkah) 2,5 Sumber: Lampiran Kepmen LH, 2007 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di bengkel CV. Auto Nusa Abadi Kupang. Sedangkan waktu penelitian ini berlangsung 2 bulan yaitu bulan Juni sampai dengan Juli 2011. 3.2 Populasi dan Sampel Penelitian 3.2.1 Populasi Penelitian Populasi adalah seluruh objek yang akan diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah semua mobil bensin Toyota Kijang 5K yang ada dan sedang beroperasi di Kota Kupang. 3.2.2 Sampel Penelitian Sampel penelitian ini adalah sebuah mobil bensin Toyota Kijang 5K dengan tipe mesin 4 tak 4 selinder yang ada di CV. Auto Nusa Abadi Kupang. 3.3 Peralatan dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: a. mobil toyota kijang 5K, Tahun 1993 (lihat Gambar 12 pada lampiran foto). Pada Tabel 4 dijelaskan spesifikasi kendaraan toyota kijang 5K Tahun 1993. Tabel 4. Spesifikasi Mobil Toyota Kijang 5 K TOYOTA KIJANG 5K, TAHUN 1993 Karburator Langkah Pompa Akselerasi Seri 5 K (Part No. 21100-13650) Tinggi Permukaan Pelampung Posisi tertinggi 5 K Posisi Terendah 5 K Sudut katup throttle tertutup Primer Sekunder Sudut katup throttle membuka penuh Primer 5 K Sekunder 5 K Sudut idle tinggi saat katup cuk Menutup penuh Putaran Idle Posisi Idle karburator dikendorkan Distributor Sudut Dwell (dwell angel) Celah rubbing blok Saat pengapian Emisi gas buang Emisi CO 4, 58 ± 0, 25 mm 0, 191± 0, 0098 in 7, 5 mm 0, 295 in 0, 6 ± 0, 1 mm 0, 024 ± 0, 004 in 90 dari permukaan horisontal 200 dari permukaan horisontal 900 dari permukaan horisontal 900 dari permukaan horisontal 260 dari permukaan horisontal 750 ± 50 rpm Kendorkan 3 putaran 520 ± 60 0, 4 – 0, 5 mm 80 sebelum TMA 2 – 3,5% (750 rpm) Sumber: Anonim, 1993. b. engine analizer (lihat Gambar 13 pada lampiran foto) c. timing light d. stopwatch e. obeng plat f. bensin premium 88 g. automotive emission analyzer (lihat Gambar 13 pada lampiran foto) Pada Tabel 5 dijelaskan spesifikasi batas minimum dan maksimum dalam pengukuran emisi gas buang pada kendaraan bermotor. Emisi gas buang yang dapat diukur yaitu: CO, HC, CO2, O2, λ, AFR, dan NOx. Tabel 5. Spesifikasi Automotive Emission Analyzer SY-GA 401 Measuring item CO, HC, CO2, O2, λ (air surplus rate), AFR, NOX (optional) Measuring method CO, HC, CO2 : NDIR methrod O2 : Electrochemical cell Measuring range CO 0.0 ~ 9.99% HC 0 ~ 9999 ppm Resolution 0.01% 1 ppm Display 4 digit 7 segment LED 4 digit 7 segment LED Measuring range CO2 0.0 ~ 20.0% O2 0.00 ~ 25.00% Resolution 0.1% 0.01% Display 4 digit 7 segment LED 4 digit 7 segment LED Measuring range Λ 0 ~ 20.000 AFR 0.0 ~ 99.0 Resolution 0.001 0.1 Display 4 digit 7 segment LED 4 digit 7 segment LED Repeatability Less than ± 2% FS Response time Within 10 seconds (more than 90%) Warming up time About 2 ~ 8 minutes Sample collecting quantity 4 ~ 6 L/min Power AC 110V only or AC220V only ± 10%, 60 Hz Power consumption About 50 W Operation temperature 0 0C ~ 400C Dimensions 285 (W) x 410 (D) x 155 (H) mm Weight 4.5 kg Sumber: Automotive Emission Analyzer 3.4 Teknik Pengumpulan Data Adapun metode yang digunakan penulis dalam penyusunan proposal penelitian ini, yaitu sebagai brikut: a. Metode observasi Penulis melakukan kajian dengan turun ke lapangan atau bengkel guna mengamati dan mencatat secara sistematis tentang objek pengamatan sebagai data dan informasi pendukung tentang permasalahan yang diangkat. b. Metode kepustakaan Penulis melakukan kajian dengan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan topik dari buku-buku yang tersedia di perpustakaan, buku petunjuk, diklat dan media lainnya yang berkaitan dengan topik. c. Metode eksperimen Penulis melakukan kajian dengan langsung melakukan percobaan sesuai dengan permasalahan yang diangkat pada mobil Toyota Kijang 5 K dan mengambil data-data percobaan serta mengalisa data-data dari hasil percobaan. Pengumpulan data dilakukan sebanyak tiga kali setiap penyetelan pada karburator pada putaran 750, 2000, dan 3000 rpm. Selanjutnya data tersebut dibandingkan dengan standar batas emisi (CO: 2,5%) yang dikeluarkan oleh Kepmen Lingkungan Hidup Tahun 2007. Adapun tahap-tahap dalam penelitian ini, yaitu: a. Tahap persiapan Mempersiapkan peralatan dan bahan yang akan digunakan dalam pengecekan. b. Tahap pelaksanaan 1) sebelum melakukan pengujian, dilakukan pemeriksaan terhadap alat dan bahan yang akan digunakan dan lakukan tune up pada mobil. 2) kabel-kabel dari engine analyzer dihubungkan ke mobil dengan posisi kabel hitam dihubungkan ke terminal negatif (-) baterai, kabel merah dihubungkan ke terminal positif (+) baterai, kabel hijau dihubungkan ke terminal positif (+) coil dan kabel warna kuning dihubungkan ke terminal negatif (-) koil, kemudian engine analizer dihubungkan. 3) kabel arus CO meter dihubungkan ke baterai, hidupkan CO meter kemudian dikalibrasi. 4) idle adjusting mixture screw karburator dikencangkan, kemudian dilonggarkan 1 putaran. Transmisi dalam keadaan ”N” (netral) dan hidupkan mesin. Rpm distel dengan memutar idle adjusting speed screw karburator sampai putaran stasioner (750 rpm). 5) tunggu selama 3 menit setelah penyetelan agar konsentrasi CO stabil, lalu dilakukan percobaan. Ujung pengindra (testing proble) CO dimasukan ke ujung knalpot sekurang-kurang 40 cm agar emisi CO dapat terbaca dengan baik dan ukuran konsentrasi emisi CO dalam waktu singkat, kemudian catat skalanya. 6) putaran mesin dinaikkan menjadi 2000 rpm dengan memutar idle adjusting speed screw. Kemudian lakukan percobaan pada poin -5. 7) putaran mesin dinaikkan menjadi 3000 rpm dengan memutar idle adjusting speed screw. Kemudian lakukan percobaan seperti pada poin -5. 8) idle adjusting mixture screw karburator dilonggarkan 0,5 putaran, kemudian ulangi langkah percobaan seperti pada poin -5), -6), dan -7). Ulangi penyetelan dengan melonggarkan idle adjusting mixture screw karburator sampai 6 putaran. 3.5 Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil percobaan dianalisa dengan menggunakan alat statistik deskriptif dengan bantuan program SPSS for windows versi 15. Lebih lanjut penyajian data analisis akan diberikan dalam bentuk tabel dan grafik, sedangkan interpretasinya dalam bentuk deskriptif. 3.6 Diagram Alir Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Interpretasi Hasil Pengujian Setelah melakukan pengujian sebanyak tiga (3) kali, untuk masing-masing putaran idle adjusting mixture screw karburator 0,5 putaran bertahap dari satu (1) sampai dengan enam (6) putaran penuh pada putaran 750, 2000, dan 3000 rpm, yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penyetelan pada karburator terhadap emisi CO yang dihasilkan. Pengujian ini dilakukan selama dua (2) hari dari tanggal 01-02 Juli 2011. Pengujian I, II, dan III (putaran 750, 2000, 3000 rpm) masing-masing membutuhkan waktu 132 menit (33 menit + 99 menit = 132 menit), yaitu waktu penyetelan 1 menit (1 menit x 33 = 33 menit) dan waktu menunggu 3 menit agar konsentrasi CO stabil untuk melakukan pengukuran (3 menit x 33 = 99 menit). Jumlah waktu untuk pengujian I, II, dan III yaitu 3 x 132 menit = 396 menit atau 6 jam 36 menit. Setelah melakukan pengujian didapat persentase emisi CO yang memiliki kecenderung meningkat seiring dilonggarkannya idle adjusting mixture screw karburator, interpretasinya ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Persentase Emisi Karbon Monoksida (CO) Pada Putaran 750 rpm Langkah Penyetelan Penyetelan Idle Adjusting Mixture Screw Karburator Persentase Emisi Karbon Monoksida (%) Pengujian I Pengujian II Pengujian III Rata-Rata 1 1 0.6 0.55 0.6 0.58 2 1.5 0.6 0.65 0.65 0.63 3 2 0.8 0.7 0.8 0.76 4 2.5 1.5 1.7 1.6 1.60 5 3 2.5 2.5 2.45 2.48 6 3.5 4.5 4.3 4.4 4.40 7 4 4.9 5 4.8 4.90 8 4.5 5.1 5 5.1 5.06 9 5 5.1 5.2 5.2 5.16 10 5.5 5.2 5.3 5.3 5.26 11 6 5.5 5.5 5.4 5.46 Sumber: Hasil Penelitian Berdasarkan data dan perhitungan pada Tabel 6 diatas diketahui bahwa penyetelan idle adjusting mixture screw karburator yang dilakukan bertahap 0,5 putaran dari satu (1) putaran sampai dengan enam (6) putaran penuh pada putaran mesin 750 rpm mengalami peningkatan yang sangat signifikan dengan kisaran persentase emisi CO yaitu 0,55% sampai dengan 5,5%. Data Tabel 6 juga menunjukkan bahwa semakin longgar idle adjusting mixture screw diputar, maka semakin tinggi persentase emisi CO. Pada putaran menengah 2000 rpm, berdasarkan data dan perhitungan pada Tabel 7 diketahui bahwa penyetelan idle adjusting mixture screw karburator yang dilakukan bertahap 0,5 putaran dari satu (1) putaran sampai dengan enam (6) putaran, terlihat bahwa persentase emisi CO mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada kisaran 1,7%-3,4%. Data ini juga menunjukkan bahwa apabila penyetelan idle adjusting mixture screw karburator semakin longgar maka semakin tinggi persentase emisi CO. Tabel 7. Persentase Emisi Karbon Monoksida (CO) Pada Putaran 2000 rpm Langkah Penyetelan Penyetelan Idle Adjusting Mixture Screw Karburator Persentase Emisi Karbon Monoksida (%) Pengujian I Pengujian II Pengujian III Rata-Rata 1 1 1.70 1.80 1.80 1.76 2 1.5 1.9 1.9 1.8 1.86 3 2 2 1.9 2 1.96 4 2.5 2.2 2.1 2.2 2.16 5 3 2.4 2.3 2.4 2.36 6 3.5 2.6 2.5 2.6 2.56 7 4 2.8 2.7 2.8 2.76 8 4.5 2.9 2.9 2.9 2.90 9 5 2.9 3 3 2.96 10 5.5 3 3.1 3 3.03 11 6 3.2 3.4 3.3 3.30 Sumber: Hasil Penelitian Pada Putaran 3000 rpm, seperti pada Tabel 8 diketahui bahwa penyetelan idle adjusting mixture screw karburator menyebabkan peningkatan persentase emisi CO yang sangat signifikan pada kisaran 1,7%-3,7%. Sama seperti data pengujian pada 750 rpm dan 2000 rpm, maka data pengujian pada putaran 3000 rpm juga menunjukkan bahwa semakin longgar idle adjusting mixture screw karburator diputar maka semakin tinggi persentase emisi CO. Tabel 8. Persentase Emisi Karbon Monoksida (CO) Pada Putaran 3000 rpm Langkah Penyetelan Penyetelan Idle Adjusting Mixture Screw Karburator Persentase Emisi Karbon Monoksida (%) Pengujian I Pengujian II Pengujian III Rata-Rata 1 1 1.8 1.7 1.8 1.76 2 1.5 2 1.9 1.9 1.93 3 2 2.2 2.1 2.1 2.13 4 2.5 2.3 2.4 2.3 2.33 5 3 2.4 2.5 2.5 2.46 6 3.5 2.8 2.8 2.9 2.83 7 4 3 3.2 3 3.06 8 4.5 3.4 3.4 3.3 3.36 9 5 3.5 3.4 3.5 3.46 10 5.5 3.6 3.5 3.6 3.56 11 6 3.8 3.7 3.7 3.73 Sumber: Hasil Penelitian Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui bahwa pengujian yang dilakukan pada putaran 750, 2000, dan 3000 rpm mempunyai hasil emisi CO yang berbeda-beda tetapi memiliki kecendrungan yang sama yaitu semakin meningkat seiring naiknya (longganrya) putaran idle adjusting mixture screw karburator. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Perbandingan Emisi CO Per Putaran Mesin Putaran Mesin (rpm) Penyetelan Idle Adjusting Mixture Screw Karburator (Putaran) 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 750 0.58 0.63 0.76 1.60 2.48 4.40 4.90 5.06 5.16 5.26 5.46 2000 1.76 1.86 1.96 2.16 2.36 2.56 2.76 2.90 2.96 3.03 3.30 3000 1.76 1.93 2.13 2.33 2.46 2.83 3.06 3.36 3.46 3.56 3.73 Sumber: Olah Data Berdasarkan Kepmen Lingkungan Hidup Tahun 2007 Tentang ambang batas emisi gas buang (CO: 2,5%), maka dalam penelitian ini persentase emisi gas baung yang sesuai yaitu pada putaran 750 rpm (putaran 1 CO: 0,58%, putaran 1,5 CO: 0,63%, putaran 2 CO: 0,76%, putaran 2,5 CO: 1,60% dan putaran 3 CO: 2,48%), putaran 2000 rpm (putaran 1 CO: 1,76%, putaran 1,5 CO: 1,86%, putaran 2 CO: 1,96%, putaran 2,5 CO: 2,16% dan putaran 3 CO: 2,36%) dan putaran 3000 rpm (putaran 1 CO: 1,76%, putaran 1,5 CO: 1,93%, putaran 2 CO: 2,13%, putaran 2,5 CO: 2,33% dan putaran 3 CO: 2,46%). Tanda arsiran berwarna merah pada Tabel (6, 7, 8, dan 9) menunjukkan bahwa batas maksimum melonggarkan idle adjusting mixture screw karburator adalah 3 putaran sehingga persentase emisi CO yang dihasilkan tidak melebihi ambang batas yang dikeluarkan oleh Kepmen Lingkungan Hidup Tahun 2007 (CO: 2,5%). 4.2 Analisis Data Grafik 1. Persentase Emisi CO Pada Puataran 750 rpm Dari hasil pengujian emisi CO pada putaran 750 rpm (lihat Grafik 1) terlihat bahwa persentase emisi CO paling rendah yaitu 0,58% (putaran 1) dan persentase emisi CO yang paling tinggi yaitu 5,46% (putaran 6). Persentase emisi CO rendah diakibatkan karena AFR terlalu kurus yang berpengaruh pada tenaga mesin menjadi sangat lemah, sering menimbulkan detonasi, mesin cepat panas dan membuat kerusakan pada selinder ruang bakar. Perentase emisi CO tinggi diakibatkan karena AFR terlalu kaya yang berpengaruh terhadap pemakaian bensin boros, asap kenalpot berwarna hitam, asap pedih di mata, menimbulkan filamen pada gesekan dinding selinder dengan ring piston dan terjadi penumpukan kerak di ruang bakar, akan tetapi mesin lebih bertenaga (Hermawan A., 2011). Putaran 750 rpm tergolong putaran idling yang perbandingan udara dan bahan bakar (bensin) 11:1. Jika mengacu pada spesifikasi teknik emisi CO yang dikeluarkan oleh Kepmen Lingkungan Hidup Tahun 2007 (CO: 2,5%), maka persentase emisi CO yang masuk dalam spesifikasi yaitu penyetelan idle adjusting mixture screw karburator pada putaran 1 (CO: 0,58%), putaran 1,5 (CO: 0,63%), putaran 2 (CO: 0,76%), putaran 2,5 (CO: 1,60%) dan putaran 3 (CO: 0,48%). Data pada Tabel 6 juga menunjukan bahwa persentase emisi CO yang masuk dalam spesifikasi yaitu penyetelan idle adjusting mixture screw karburator pada putaran 1 (CO: 0,58%), putaran 1,5 (CO: 0,63%), putaran 2 (CO: 0,76%), putaran 2,5 (CO: 1,60%) dan putaran 3 (CO: 0,48%). Grafik 2. Persentase Emisi CO Pada Puataran 2000 rpm Pengujian yang dilakukan pada putaran 2000 rpm (lihat Grafik 2) terlihat persentase emisi CO paling rendah yaitu 1,76% (putaran 1 idle adjusting mixture screw karburator) dan persentase emisi CO yang paling tinggi yaitu 3,30% (putaran 6 idle adjusting mixture screw karburator). Persentase emisi CO rendah diakibatkan karena AFR kurus yang berpengaruh pada tenaga mesin berkurang, terkadang terjadi detonasi dan konsumsi bensin irit. Persentase emisi CO tinggi diakibatkan karena AFR kaya yang berpengaruh pada pemakaian bensin agak boros, tidak terjadi detonasi dan mesin lebih bertenaga (Hermawan A., 2011). Putaran 2000 rpm merupakan putaran sedang (ekonomi) yang memiliki perbandingan campuaran udara dan bahan bakar (bensin) 16-18 : 1. Jika mengacu pada spesifikasi teknik emisi CO yang dikeluarkan oleh Kepmen Lingkungan Hidup Tahun 2007 (CO: 2,5%), maka persentase emisi CO yang masuk dalam spesifikasi yaitu penyetelan idle adjusting mixture screw karburator pada putaran 1 (CO: 1,76%), putaran 1,5 (CO: 1,86%), putaran 2 (CO: 1,96%), putaran 2,5 (CO: 2,16%) dan putaran 3 (CO: 2,36%). Data pada tabel 7 diatas juga menunjukkan bahwa persentase emisi CO yang masuk dalam spesifikasi yaitu penyetelan idle adjusting mixture screw karburator pada putaran 1 (CO: 1,76%), putaran 1,5 (CO: 1,86%), putaran 2 (CO: 1,96%), putaran 2,5 (CO: 2,16%) dan putaran 3 (CO: 2,36%). Grafik 3. Persentase Emisi CO Pada Puataran 3000 rpm Pada Grafik 3 terlihat Pengujian yang dilakukan pada putaran 3000 rpm. Persentase emisi CO paling rendah yaitu 1,76% (putaran 1 idle adjusting mixture screw karburator) dan persentase emisi CO yang paling tinggi yaitu 3,73% (putaran 6 idle adjusting mixture screw karburator). Sama seperti pada putaran 2000 rpm bahwa persentase emisi CO rendah diakibatkan karena AFR kurus yang berpengaruh tenaga mesin berkurang, terkadang terjadi detonasi dan konsumsi bensin irit. Perentase emisi CO tinggi diakibatkan karena AFR kaya yang berpengaruh pada pada pemakaian bensin agak boros, tidak terjadi detonasi dan mesin lebih bertenaga (Hermawan A., 2011). Putaran 3000 rpm merupakan putaran maksimum yang memiliki perbandingan campuaran udara dan bahan bakar (bensin) 12-13:1. Jika mengacu pada spesifikasi teknik emisi CO yang dikeluarkan oleh Kepmen Lingkungan Hidup Tahun 2007 (CO: 2,5%), maka persentase emisi CO yang masuk dalam spesifikasi yaitu penyetelan idle adjusting mixture screw karburator pada putaran 1 (CO: 1,76%), putaran 1,5 (CO: 1,93%), putaran 2 (CO: 2,13%), putaran 2,5 (CO: 2,33%) dan putaran 3 (CO: 2,46%). Data pada Tabel 8 juga menunjukkan bahwa persentase emisi CO yang masuk dalam spesifikasi yaitu penyetelan idle adjusting mixture screw karburator pada putaran 1 (CO: 1,76%), putaran 1,5 (CO: 1,93%), putaran 2 (CO: 2,13%), putaran 2,5 (CO: 2,33%) dan putaran 3 (CO: 2,46%). Grafik 4. Perbandingan Emisi CO Per Putaran Mesin Keterangan: : Putaran mesin 750 rpm : Putaran mesin 2000 rpm : Putaran mesin 3000 rpm Pada Grafik di atas (Grafik 4) terlihat perbandingan emisi CO per puataran mesin (750, 2000, dan 3000 rpm). Pada setiap putaran mesin apabila idle adjusting mixture screw karburator dikendorkan secara bertahap 0,5 putaran maka persentase emisi CO yang dihasilkan semakin meningkat. Akan tetapi peningkatan persentase emisi CO tidak sama untuk semua putaran mesin. Walaupun demikian pada saat idle adjusting mixture screw karburator dikendorkan 3 putaran untuk masing-masing putaran mesin menghasilkan persentase emisi CO mendekati sama dan sesuai dengan spesifikasi maksimum yaitu putaran 750 rpm (CO: 2,48%), putaran 2000 rpm (CO: 2,36%) dan putaran 3000 rpm (CO: 2,46%). Data pada Tabel 9 juga menunjukan bahwa pada saat idle adjusting mixture screw karburator dikendorkan 3 putaran untuk masing-masing putaran mesin, persentase emisi CO mendekati sama dan sesuai dengan spesifikasi maksimum yaitu putaran 750 rpm (CO: 2,48%), putaran 2000 rpm (CO: 2,36%) dan putaran 3000 rpm (CO: 2,46%). 4.3 Pembahasan Hasil pengujian emisi CO menunjukan bahwa persentase emisi CO cendrung meningkat seiring dengan dikendorkannya idle adjusting mixture screw karburator baik pada putaran 750, 2000, maupun 3000 rpm. Peningkatan ini terjadi karena pada saat idle adjusting mixture screw karburator dikendorkan bahan bakar (bensin) yang masuk semakin meningkat sehingga campuran udara dan bahan bakar (bensin) semakin kaya. Campuran bahan bakar (bensin) dan udara yang kaya membuat pembakaran di dalam ruang bakar menjadi tidak sempurna. Pengujian yang dilakukan pada putaran 750 rpm memiliki peningkatan persentase emisi CO yang sangat tinggi. Peningkatan ini di dasarkan pada perbandingan udara dan bahan bakar (bensin) lebih kaya jika dibandingkan pada putaran 2000, dan 3000 rpm. Semakin idle adjusting mixture screw karburator dikendorkan maka perbandingan udara dan bahan bakarnya semakin meningkat karena bahan bakar (bensin) yang masuk semakin meningkat. Hasil pengujian yang dilakukan pada putaran 2000, dan 3000 rpm memiliki peningkatan persentase emisi CO di bawah putaran 750 rpm. Perbedaan ini terjadi karena pada putaran 2000, dan 3000 rpm perbandingan udara dan bahan bakar (bensin) sudah mulai berkurang, artinya pada putaran 750 rpm tergolong putaran idling dengan perbandingan bahan bakar (bensin) dan udara 11:1 sedangkan pada putaran 2000 rpm tergolong putaran sedang dengan perbandingan bahan bakar (bensin) dan udara 16-18:1 dan pada putaran 3000 rpm tergolong putaran maksimum dengan perbandingan bahan bakar (bensin) dan udara 12-13:1. Gas CO dihasilkan oleh pembakaran yang tidak sempurna akibat dari kekurangan oksigen pada pembakaran (campuran gemuk). Walaupun secara teori tidak terdapat CO pada campuran yang kurus akan tetapi pada kenyataannya CO juga dapat dihasilkan pada campuran kurus, karena pembakaran tidak merata yang disebabkan oleh distribusi bensin tidak merata di dalam ruang bakar, juga karena temperatur di sekeliling selinder rendah sehingga api tidak dapat mencapai daerah ini pada ruang bakar. Konsentrasi (perbandingan volumetrik) dari CO dalam gas buang pada umumnya ditentukan oleh perbandingan udara dan bensin. Campuran yang semakin kurus akan menghasilkan CO yang semakin rendah. Berdasarkan Kepmen Lingkungan Hidup, 2007 tentang ambang batas emisi gas buang (CO: 2,5%), maka dalam penelitian ini persentase emisi gas baung yang sesuai yaitu pada putaran 750 rpm (putaran 1 CO: 0,58%, putaran 1,5 CO: 0,63%, putaran 2 CO: 0,76%, putaran 2,5 CO: 1,60% dan putaran 3 CO: 2,48%), putaran 2000 rpm (putaran 1 CO: 1,76%, putaran 1,5 CO: 1,86%, putaran 2 CO: 1,96%, putaran 2,5 CO: 2,16% dan putaran 3 CO: 2,36%) dan putaran 3000 rpm (putaran 1 CO: 1,76%, putaran 1,5 CO: 1,93%, putaran 2 CO: 2,13%, putaran 2,5 CO: 2,33% dan putaran 3 CO: 2,46%). BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Setelah penulis melakukan analisa data maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. pada putaran 750 rpm penyetelan idle adjusting mixture screw karburator sangat berpengaruh terhadap emisi CO yaitu semakin longgar idle adjusting mixture screw karburator emisi CO semakin meningkat. Jika mengacu pada spesifikasi teknik emisi CO yang dikeluarkan oleh Kepmen Lingkungan Hidup Tahun 2007 (CO: 2,5%), maka persentase emisi CO yang masuk dalam spesifikasi yaitu penyetelan idle adjusting mixture screw karburator pada putaran 1 (CO: 0,58%), putaran 1,5 (CO: 0,63%), putaran 2 (CO: 0,76%), putaran 2,5 (CO: 1,60%) dan putaran 3 (CO: 2,48%), 2. penyetelan idle adjusting mixture screw karburator juga berpengaruh terhadap emisi CO pada putaran 2000 rpm yaitu semakin longgar idle adjusting mixture screw karburator emisi CO semakin meningkat. Jika mengacu pada spesifikasi teknik emisi CO yang dikeluarkan oleh Kepmen Lingkungan Hidup Tahun 2007 (CO: 2,5%), maka persentase emisi CO yang masuk dalam spesifikasi yaitu penyetelan idle adjusting mixture screw karburator pada putaran 1 (CO: 1,76%), putaran 1,5 (CO: 1,86%), putaran 2 (CO: 1,96%), putaran 2,5 (CO: 2,16%) dan putaran 3 (CO: 2,36%), 3. pada putaran 3000 rpm penyetelan idle adjusting mixture screw karburator juga berpengaruh terhadap emisi CO yaitu semakin longgar idle adjusting mixture screw karburator emisi CO semakin meningkat. Jika mengacu pada spesifikasi teknik emisi CO yang dikeluarkan oleh Kepmen Lingkungan Hidup Tahun 2007 (CO: 2,5%), maka persentase emisi CO yang masuk dalam spesifikasi yaitu penyetelan idle adjusting mixture screw karburator pada putaran 1 (CO: 1,76%), putaran 1,5 (CO: 1,93%), putaran 2 (CO: 2,13%), putaran 2,5 (CO: 2,33%) dan putaran 3 (CO: 2,46%). 4. penyetelan idle adjusting mixture screw karburator pada mobil toyota kijang 5K sebaiknya tidak melebihi 3 putaran agar kandungan emisi CO tidak melebihi ambang batas emisi yang dikeluarkan oleh Kepmen Lingkungan Hidup Tahun 2007(CO:2,5%). 5.2 Saran Dari seluruh rangkaian penelitian sampai dengan pembahasan maka dapat disammpaikan beberapa saran seabgai berikut 1. untuk para pemilik mobil toyota kijang 5K agar selalu melakukan perawatan berkala. Salah satunya yaitu uji emisi CO karena dalam gas buang emisi CO sangat berbahaya bagi kesehatan. 2. untuk para teknisi atau mekanik saat melakukan penyetelan idle adjusting mixture screw karburator sebaiknya dilakukan juga pengujian emisi karbon monoksida (CO) agar dapat diketahui berapa besar kandungan emisi CO yang terdapat pada gas buang. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1993. Pedoman Reparasi Mesin Seri K. Jakarta, PT Toyota Astra Motor. Anonim. 1996. Pedoman Reparasi Mesin Seri K. Jakarta, PT Toyota Astra Motor. Anonim. 2003. New Step I Training Manual. Jakarta, PT Toyota Astra Motor. Arends, BPM & Berenschot. 1980. Motor Bensin. Jakarta, Erlangga. Arismunandar, W. 2002. Motor Bakar Torak. Bandung, ITB Bandung. Daryanto. 1999. Teknik Otomotif. Jakarta, Bumi Aksara. Bernad, DW & Zulkifli, H. 1987. Penerapan Termodinamika. Jakarta, Erlangga. Hermawan, A. 2011. Otomotif Mengenai Perbandingan Udara dan Bahan Bakar Pada Motor. http://www.kreaktifdanaktif.blogspot.com, diakses 11 Juli 2011. Husni, M & Herdiman, Eman.1981. Teori engine Dan Casis untuk STM. Jakarata, Departemen P&K. Karyanto E. 1994. Pedoman Reparasi Motor Bensin. Jakarta, CV Pedoman Ilmu Jaya. Lestari, P. 2007. Membenahi Emisi Gas Buang. http://www.auto-car.co.id, diakses 22 Juni 2010. Scott, J. S. 2001. Kamus Lengkap Teknik Sipil. Jakarta, Erlangga. Sedarmayanti & Hidayat S. 2002. Metodologi Penelitian. Bandung, Mandar Maju Srikandi, V. 1992. Polusi Air dan Udara. Jakarta, Kanisius. Wiratama. 2008. Menghemat Bahan Bakar Bensin. http://hemat-bensin.blogspot.com , diakses 24 Juni 2010. Wiratama. 2008. Menganalisa Sendiri Hasil Test Emisi Gas Buang. http://hemat-bensin.blogspot.com, diakses 31 Mei 2010. Zakarias. 2009. Pengaruh Penambahan Naptalin Pada Bahan Bakar Bensin Terhadap emisi CO. UNDANA Kupang. DATA HASIL PENGUJIAN Persentase emisi karbon monoksida (CO) pada putaran 750 rpm Penyetelan Idle adjusting Mixture Screw Karburator Persentase Emisi Karbon Monoksida (%) Pengujian I Pengujian II Pengujian III Rata-Rata 1 0.6 0.55 0.6 0.58 1.5 0.6 0.65 0.65 0.63 2 0.8 0.7 0.8 0.76 2.5 1.5 1.7 1.6 1.60 3 2.5 2.5 2.45 2.48 3.5 4.5 4.3 4.4 4.40 4 4.9 5 4.8 4.90 4.5 5.1 5 5.1 5.06 5 5.1 5.2 5.2 5.16 5.5 5.2 5.3 5.3 5.26 6 5.5 5.5 5.4 5.46 Persentase emisi karbon monoksida (CO) pada putaran 2000 rpm Penyetelan Idle adjusting Mixture Screw Karburator Persentase Emisi Karbon Monoksida (%) Pengujian I Pengujian II Pengujian III Rata-Rata 1 1.70 1.80 1.80 1.76 1.5 1.9 1.9 1.8 1.86 2 2 1.9 2 1.96 2.5 2.2 2.1 2.2 2.16 3 2.4 2.3 2.4 2.36 3.5 2.6 2.5 2.6 2.56 4 2.8 2.7 2.8 2.76 4.5 2.9 2.9 2.9 2.90 5 2.9 3 3 2.96 5.5 3 3.1 3 3.03 6 3.2 3.4 3.3 3.30 Persentase emisi karbon monoksida (CO) pada putaran 3000 rpm Penyetelan Idle adjusting Mixture Screw Karburator Persentase Emisi Karbon Monoksida (%) Pengujian I Pengujian II Pengujian III Rata-Rata 1 1.8 1.7 1.8 1.76 1.5 2 1.9 1.9 1.93 2 2.2 2.1 2.1 2.13 2.5 2.3 2.4 2.3 2.33 3 2.4 2.5 2.5 2.46 3.5 2.8 2.8 2.9 2.83 4 3 3.2 3 3.06 4.5 3.4 3.4 3.3 3.36 5 3.5 3.4 3.5 3.46 5.5 3.6 3.5 3.6 3.56 6 3.8 3.7 3.7 3.73 LAMPIRAN FOTO Gambar 12. Mobil Toyota Kijang 5K Untuk Penelitian Gambar 13. Tune Tester dan Automotive Emission Analyzer Gambar 14. Kalibrasi Automotive Emission Analyzer Gambar 15. Pemasangan Kabel-Kabel Automotive Emission Analyzer Pada Mobil Gambar 16. Penyetelan Pada Karburator Gambar 17. Penyetelan Pada Karburator Gambar 18. Pemasangan Testing Proble Pada Ujung knalpot Gambar 19. Pembacaan Hasil Pengukuran Pada Automotive Emission Analyzer DAFTAR ISTILAH A Acceleration Circuit : Sistem Percepatan Air Bleeders : Saluran Udara Air Filter : Saringan Udara Air Horn Inlet : Saluran Masuk Udara Air Injection System : Sistem Injeksi Udara B By Pas Jet : Saluran By Pas C Check Ball : Katup Peluru Choke Circuit : Sistem Cuk Choke Valve : Katup Cuk CO Meter : Alat Penguji Gas CO E Excess Air : Udara Berlebihan F Float : Pelampung Float Chamber : Ruang Pelampung Float Circuit : Sistem Pelampung Fuel Presure : Tekanan Bahan Bakar Fuel Presure Regulator : Tekanan Bahan Bakar Regulator H High Speed Valve : katup Putaran Tinggi I dle Port : Saluran Idle Idle Speed : Putaran Idle Intake Manifold : Saluran Masuk L Low Speed Circuit : Sistem Putaran Lambat M Main Air Bleeder : Saluran Udara Main Nozzle : Pengabut Utama Main Jet : Jet Utama Metering : Jumlah Aliran Mixture Chamber : Ruang Pencampur Multi Cylinder : Aneka Selinderz N Needle Valve : Katup Jarum Nozzle : Pengabut P Polutan : Bahan Pencemar Power Jet : Jet Tenaga Power Circuit : Sistem Tenaga Power Valve : Katup Tenaga Primary High Speed Circuit : Sistem Putaran Cepat Primer R Range : Jangka/ Jarak, Kisaran S Secondary Venturi : Venturi Sekunder Secondary High Speed Circuit : Sistem Putaran Tinggi Sekunder Secondary Thottle Valve : Katup Gas Sekunder Sensor Temperature : Sensor Temperatur Stand By : Situasi Menunggu Steady : Beban Tunak Stoichiometrik : Campuran BB Yang Secara Kimia Tepat T Testing Proble : Ujung Pengindra Throttle Valve : Katup Gas Timing : Waktu V Valve-Overlap : Tumpang Tindih Katup Velolitas : Tingkat Kecepatan Bahan Bakar SINGKATAN DAN AKRONIM AFR : Air to Fuel Ratio ASTM : American Society For Testing And Materials CC : Catalic Converter DKI : Daerah Khusus Ibukota F/ A : Fuel/ Air MTBE : Metil Tersier Butil Eter PAN : Peroksi Asetil Nitrat PCV : Positive Crankcase Ventilation RPM : Rotasi Per Menit TEL : Tetra Ethyl Lead DAFTAR LAMBANG CO : Carbon Monoksida CO2 : Carbon Dioksida HC : Hydro Carbon H2O : Dihydro Oksida NOx : Nitrogen Oksida O3 : Ozon Pb : Timbal SOx : Sulfur Oksida 0C : Derajat Celsius : Mikron

Rabu, 20 Oktober 2010

stefen helan

LAPORAN STUDI KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. M. L DENGAN CEDERA KEPALA BERAT
DI RUANGAN KELIMUTU RSUD. Prof. Dr. W. Z. JOHANES KUPANG
TANGGAL 02 s/d 05 AGUSTUS 2010



Disusun Dalam Rangka Menyelesaikan Ujian Akhir Program PAda Akademik Keperawatan Maranatha Kupang











OLE H

STEFANIA BENGA OLA
NIM: 03902507


YAYASAN MARANATHA GROUPS WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR
AKADEMIK KEPERAWATAN MARANATHA KUPANG
2010



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dewasa ini perkembangan akan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin pesat. Hal ini ditandai dengan penemuan ilmu-ilmu baru di segala bidang atau penemuan peralatan baru yang semakin canggih atau mendekati sempurna. Dalam bidang transportasi para ahli berlombah-lombah untuk mendesain sebuah kendaraan baik dari segi konstruksi mesin, sistem bahan bakar, sistem kelistrikan, sistem pemindah daya, sistem rem, sistem pelumasan, dan sistem lainnya yang berhubungan dengan suatu kendaraan agar lebih disenangi konsumen, baik biaya pembelian atau biaya perawatannya dan nyaman dalam mengendarai. Namun realita mengatakan pengendara sering mengalami kecelakaan yang mengakibatkan hal yang sangat fatal bagi organ tubuhnya. Misalnya terjadi kecelakaan dalam mengendarai kendaraan yang mengakibatkan cedera pada kepala.
Cedera kepala merupakan adanya diaformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan kecepatan serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
Cedera otak dilindungi oleh rambut, kulit dan tulang tengkorak yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak yang membuat kita seperti adanya atau seperti saat ini akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, akibat tidak langsung dari cedera otak ini akan mengakibatkan kerusakan sistim saraf yaitu neuron yang tidak dapat diperbaiki lagi apabila telah rusak akan mengganggu seluruh kegiatan tubuh manusia (Mansjoer, 2000).
Cedera otak atau yang biasa disebut dengan cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai dengan perdarahan interstil substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak atau dengan kata lain cedera kepala adalah satu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak, atau otak yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang dan harus selalu dihindari dan ditemukan perbaikannya karena jika tidak akan menimbulkan cacat mental dan fisik bahkan kematian bagi seseorang (Hudak dan Gallok,1997).
Diperkirakan 100 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera yang cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Pada kelompok ini, antara 50.000 dan 90.000 orang setiap tahun mengalami penurunan intelektual atau tingkahlaku yang menghambat kembalinya mereka ke kehidupan yang normal. 2/3 kasus cedera kepala berusia di bawah tiga puluh tahun, dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. 50% pasien cedera kepala yang diterapi di ruang darurat dalam darahnya terdeteksi kadar alkohol. Kurang lebih 40% dari korban dengan trauma ganda mengalami cedera sistem syaraf pusat. Kelompok ini mempunyai angka kematian dua kali lebih besar daripada korban tanpa cedera sitim syaraf pusat (35%:17%). Cedera kepala ini merupakan 25% dari semua kemataian akibat trauma lebih dari setengahnya adalah akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor (Brunnar & Suddarth, 2002).
Di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johanes Kupang, khususnya di ruangan kelimutu (III Laki) dari bulan Januari sampai Juli 2010, terdapat 60 orang (10%).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu berpikir kritis dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala berat (CKB) melalui pendekatan proses keperawatan.


1.2.2 Tujuan khusus
Mahasiswa mampu:
1. Melakukan pengkajian kepada pasien dengan cedera kepala berat
2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan cedera kepala berat
3. Membuat perencanaan tindakan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala berat
4. Melakukan tindakan sesuai rencana pada pasien dengan cedera kepala berat.
5. Mengevaluasi dan mendokumentasikan hasil asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala berat.

1.3 Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan laporan ini adalah metode deskriptif dan studi kasus yang membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala dan studi kasus Tn. M.L. yang dirawat di ruangan Kelimutu dengan diagnisa medis cedera kepala berat

1.4 Sistim Penulisan
Sistim penulisan terdiri dari BAB I Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang, tujuan, metode dan sistematika penulisan. Bab II tinjauan teori atau pustaka Bab III tinjauan kasus, Bab IV pembahasan, Bab V penutup terdiri dari kesimpulan dan saran.








BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian
Cedera kepala yaitu adanya diaformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan kecepatan serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai pendarahan interfill dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontiunitas otak. Cedera kepala adalah keadaan kegawatan satu susunan syaraf pusat yang harus secepatnya mendapat pertolongan karena dapat mengakibatkan gangguan fungsi atau mental ba hkan kematian.

2.2 Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi cedera.
1. Mekanisme: berdasarkan adanya penetrasi durameter. trauma tumpul: kecepatan tingi (tabrak oto, motor) dan kecepatan rendah (terjatuh, dipukul), trauma tembus (luka tembus peluru atau luka tusukan).
2. Keparahan cedera
Glsgow coma scala (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelemahan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala:
Berdasarkan keparahan cedera kepala:
a. Cedera kepala ringan: GCS: 13-15, tidak terjadi kehilangan kesadaran atau anamnese < dari 30 menit, fraktur tengkorak tidak ada, contusio cerebral tidak ada, tidak ditemukan adanya hematon, tidak ada nyeri tekan dan juga tidak ada keluhan berupa pusing.
b. Cedera kepala sedang: GCS 9-13, penurunan kesadaran, muntah, kejang, amnesia > 30 menit, tapi < dari 24 jam.
c. Cedera kepala berat: GCS: 3-8, penurunan kesadaran secara progresif, tanda neurologois fokal, cedera kepala penetrasi, anemia > 24 jam.

2.3 Penyebab Cedera Kepala
a. Cedera Otak primer
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera setelah akibat langsung dari trauma. Pada cedera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi,
b. Cedera ke otak sekunder:
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
Proses-proses fisiologi yang abnormal:
1) Kejang-kejang
2) Gangguan saluran napas.
3) Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena: edema fokal atau difusi, hematoma epidural, hematoma subdural, hematoma intra serebral, overhidrasi.
4) Sepsis/septic syok
5) Shock
Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cedera otak dan sangat mempengaruhi morbilitas dan mortalitas.

2.3.1 Perdarahan yang sering ditemukan
1) Epidural hematom
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan durameter akibat pecahnya pembuluh darah atau cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di durameter, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangan berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai satu sampai dua hari. Lokasi yangpaling sering yaitu di lobus temporalis dan parentalis.
Tanda dan gejala
Penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, ireguler, penurunan nadi, peningkatan suhu tubuh.

2) Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat terjadi akut atau kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena atau jembatan vena yang biasanya terdapat di antara durameter, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam sampai dua hari atau dua minggu dan kronik dapat terjadi dalam dua minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala
Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berpikir lambat, kejang dan edema pupil.

3) Perdarahan intracerebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejala
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.

4) Perdarahan subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral, dan kaku kuduk.



2.4 Patofisiologi


























2.5 Manifestasi Klinis
Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik, dan perubahna tanda vital. Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, gangguan pergerakan dan banyak efek lainnya. Karena cedera SSP sendiri tidak menyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukan kemungkinan cedera multisistem.

2.6 Pemeriksaan diagnostik
CT Scan: (tanpa atau dalam kontras) untuk mengidentifikasi adanya hemorabi, menentukan ukuran ventikuler, pertgeseran jaringan otak.
Angiografi cerebral: menunjukkan kelaina sirkulasi cerebral seperti pergeseran jaringan otak, akibat edema, perdarahan, trauma.
X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahans irkulasi garis (perdarahan atau edema), fragmen tulang.
Analisa gas darah: mendeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadinya tekana intrakranial.
Elektrolit: untuk mengoreksikan keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.

2.7 Penatalaksanaan
Menilai jalan napas: bersihkan jalan napas dari debris dan muntah, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar sertikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan napas maka pasien harus diintubasi.
Menilai pernapasan: tentukan pasien bernapas sepontan atau tidak, jika tidak berika oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks, pneumotoraks tensif, hemo pneumotoraks. Pasang oksimeter nadi jika tersedia, dengan tujuan menjaga satu rasio oksigen minimum 95 %. Jika jalan napas pasien tidak terlindungi bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat atau muntah maka pasien harus diintubasi.
Menilai sirkuasi: otak yang besar tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua pendarahan dengan menekankan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisa gas darah arteri. Berikan larutan koloit, sedangkan larutan kristaloit (dekstrosa atau dektrosa dalam salin), menimbulkan eksarserbasi edema otak pasca cedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksial, dan hiperkapnia memperburuk cedera kepala.
Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masi kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/ kg BB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.

2.8 Asuhan Keperawatan
2.8.1 Pengkajian
BREATHING
Kompresi pada batan gotak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekwensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia brething. Napas berbunyi, stridor, ringkhy , wheezing (kemungkinan karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.

BLOOD
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah berfariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpati ke jantung akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia.

BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cedera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, simkope, tinitus, kehilangan pendengaran, pada ekstemitas. Bila pendarahan hebat, atau luas dan mengenai batang otak, akan terjadi gangguan pada nerkus kranialis, maka dapat terjadi:
a. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku memori).
b. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajaman, diplopia, kehilangan sebagai lapang pandang, fotophobia.
c. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
d. Sering timbul cekukan oleh karena kompresi pada nervus fagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
e. Gangguan nersus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh ke salah satu sisi, disfagia, sehingga sulit menelan.]

BLADER
Pada cedera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontensial uri, ketidakmampuan menahan miksi.

BOWEL
Pasien cedera kepala terjadi penurunan fungsi pencernaan, bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera, gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi avi.
BONE
Pasien cedera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilitas dan dapat pula terjadi spasitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusakatau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapa pula terjadi penurunan otot.
Priorotas keperawatan.
a. memaksimalkan perfusi/ f ungsi otak
b. mencegah komplikasi
c. mengatur fungsi secara optimal
d. mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga
e. pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengibatan dan rehabilitasi.

2.8.2 Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema cerebral dan peningkatan TIK
b. Resiko tinggi pola napas tidak e fektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler.
c. Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan perubahan transimisi atau trauma atau defisit neurologis.
d. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis.
e. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler.

2.8.3 Rencana Tindakan
a. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan denga edema cerebral atau peningkatan TIK

Tujuan: Mempertahankan tingkat kesadaran dan perfusi jaringan.
Kriteria hasil: Tanda-tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Rencana tindakan:
1. Tentukan faktor-fakttor yang menyebabkan koma, atau penurunan perfusi jaringan otak dan potensi peningkatan TIK.
R/ penurunan tanda atau gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan intensif.
2. Pantau dan catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
R/ mengkaji itingkat kesadaran potensial, peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan SSP.
3. Evaluasi keadaan pupil, ukur kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.
R/ reaksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran atau ketajaman ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dan saraf kranial (II) dan okulomotor III.
4. Pantau dan catat tanda-tanda vital: TD, nadi, frekwensi napas, suhu,
R/ peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD sistolik merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh perubahan kesadaran. Hipofolemia atau hipotensi dapat mengakibatkan kerusakan atau iskemia cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi menyebabkan peningkatan TIK.
5. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan seperti lingkungan yang tenang.
R/ memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
6. tinggikan kepala pasien 15-45O sesuai indikasi atau yang dapat ditoleransi.
R/ meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan edema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.
b. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler.
Tujuan: Mempertahankan pola napasefektif.
Kriteria hasil: bebas tanosis, GDA dalam batas normal.
Rencana tindakan:
1. Pantau frekwensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakakuratan pernapasan.
R/ perubahan dapat menandakan alitan komplikasi kumoral atau menandakan lokasi luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode abnea, dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
2. tinggikan kepala dan tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
R/ untuk memudahkan ekspansi paru atau ventilasi dan menurunkan kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
3. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar menurunkan atau mencegah atelektasis. Lakukan pengisapan/suction dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik, catat karakter, warna dankekeruhan dari sekret.
R/ pengisapan biasanya dibutuhkan jika pasien atau dalam keadaan imobilisasi, dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri.
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi atau defisit neurologis..
Rencana tindakan:
1. Pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan, sensori dan pikiran.
R/ penmglihatan motorik, resepsi, kognitif dan kepribadian mungkin berkembang dan menetap dengan perbaikan respon secara perlahan.
2. Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas atau dingin, benda tajam atau tumpul, dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh.
R/ informasi penting untuk keamanan pasien.
3. Bicara dengan suara yng lebut dan pelan, gunakan kalimat pendek dan sederhana.
R/ pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian atau pemahaman selama fase akut.
d. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis
Rencana tindakan:
1. Kaji rentang pengertian, kebingungan, dan catat tingkat ansetas pasien.
R/ rentang kemampuan atau perhatian untuk berkonsentrasi mungkin memendek secara tajam yang menyebabkan dan merupakan potensi tingkahlaku pasien.
2. Anjurkan orang terdekat untuk memberikan berita baru atau keluarga
R/ meningkatkan terpeliharanya kontak dengan keadaan yang biasa terjadi.
3. Pastikan demgam orang terdekat untuk membandingkan tingkah laku pasien sebelum mengalami trauma dengan respon pasien sekarang.
R/ untuk membedakan tingkah laku yang sekarang dan sebelumnya.
4. Hindari meninggalkan pasien sendiri ketika mengalami agitasi, kegelisahan atau berontak.
R/ ansetas dapat mengakibatkan kehilangan kontrol dan meningkatkan kepanikan dukungan dapat memberikan ketenangan yang menurunkan antetas dan ersiko terjadinya trauma.
e. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
1. Berikan perawatan aseptik dan antiaseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
R/ cara pertama menghindari terjadinya infeksi nosokomia.
2. observasi daerah kulit yang mengalkami kerusakan, daerah yang terpasang alat infasi.
R/ deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
3. pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, menggigil, diatphoresis dan perubahan fungsi mental.
R/ dapat mengidentifikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi dan tindakan dengan segera.
4. berikan antibiotik sesuai indikasi.
R/ terapi anfilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomia.
f. Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler.
1. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi
R/ Mengidentifikasikan kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
2. Letakan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan
R/ Perubahan posisi yang teratur menyebabkan peningkatan sirkulasi pada seluruh bagian tubuh.
3. Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional.
R/ Mencegah terjadinya trauma yang lebih lanjut.
4. Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan lembut.
R/ Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan resiko terjadinya eksoriasi kulit.


BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Studi Kasus
3.1.1 Pengkajian
Hasil pengkajian yang dilakukan pada tanggal 3 agustus 2010 jam 2 siang pada keluarga Tn. M.L, umur 35 tahun suku timor agama Kristen Protestan, pekerjaan wiraswasta, alamat Takari dengan diagnosa medik cedera kepala berat. Dengan riwayat keperawatan sebagai berikut: pasien masuk rumah sakit pada tanggal 22 Juli 2010 dalam keadaan tidak sadar dengan GCS 3 (E1,V1,M1) karena ditabrak oto truk. Pasien masuk di UGD dan dipindahkan ke ruang ICU pada tanggal 23 Juli 2010 dan masuk di ruang Kelimutu pada tanggal 3 Agustus 2010 jam 11 siang.
Saat ini keluarga pasien mengatakan pasien merasa pusing, sakit di daerah kepala, pasien selalu berontak dan berteriak, tingkat kesadaran pasien juga menurun. Upaya yang telah dilakukan yaitu pasien diantar ke puskesmas Takari dan pasien langsung dirujuk ke rumah sakit RSUD Prof. W.Z. Yohanes Kupang. Di ruang UGD dan mendapat pengobatan. Keluarga pasien mengatakan pasien tidak pernah menderita penyakit berat. Keluarga pasien mengatakan bahwa tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit berat. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Pasien anak ke tiga dari empat bersaudara. Pasien mempunyai dua saudari yaitu anak pertama dan keempat. Sedangkan istri pasien anak kedua dari tiga bersaudara dan memiliki satu orang saudara laki-laki yaitu anak pertama. Pasien mempunyai tiga orang anak, anak pertama perempuan, anak kedua dan ketiga laki-laki. Keluarga pasien mangatakan di lingkungan rumahnya bersih. Pada saat observasi dan pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan pasien lemah, terpasang infus RL 20 tetes per menit, pucat. Tanda-tanda vital: suhu 37,2OC, peraksila nadi 84 kali per menit, tekanan darah 110/60mmHg pada lengan kanan dengan posisi berbaring, RR 19 kali/menit. Keluarga pasien mengatakan pasien merasa pusing dan nyeri kepala. Bunyi jantung S1 dan S2 normal, pernapasan vaskuler. Kapilari refill time 3 detik. Kesadaran pasien delilium dengan nilai GCS 11 (E3, V4, M4) seklera putih, pupil isokhor, konjungtive merah muda, pendengaran kiri dan kanan pasien normal. Penciuman baik, pengecapan manis, asin dan pahit. Perabaan hangat, panas, dingin. Produksi urine 1500ml/24 jam, berwarna kuning pekat, terpasang kateter tetap. Abdomen simetris, tidak ada masa atau nyeri tekanan.
Pada sitem mosculoskeleta, tidak terdapat kelainan otot. Aktivitas pasien selama di rumah dan di rumah sakit antara lain: pola makan 3xsehari (tidak teratur) di rumah sakit 3x sehari (teratur), pola minum di rumah dan di rumah sakit setiap kali haus, pola eliminasi di kateter, BAB di rumahnya 2x/hari dan di rumah sakit 1x, pola istirahat atau tidur di rumah jam 22.00-05.00, sedangkan di rumah sakit 3xsehari (jam 10.00-12.00, jam 17.00-18.00, jam 21.00-05.30). pola personal higyene di rumah (mandi 2xsehari, keramas tiap kali mandi) sedangkan di rumah sakit (mandi 1x /hari, keramas dibantu oleh perawat dan keluarga). Pola aktivitas pasien di rumah jam 07.00-16.00 bekerja di bengkel. Frekwensi makan pasien adalah 3x sehari dengan jenis menu antara lain bubur dan lauk-pauk, frekwensi minum setiap kali haus dengan jenis minuman air putih dan susu.
Konsep tentang penguasa kehidupan dan sumber kekuatan atau harapan saat sakit adalah Tuhan, ritual agama yang diharapkan saat ini adalah doa. Keyakinan/kepercayaan bahwa Tuhan akan menolong dalam menghadapi situasi sakit, yaitu keluarga percaya bahwa pasien akan sembuh dari sakitnya. Terapi obat yang didapat: amplicilin (2x1 gram/IV), piracetam (2x3gr/IV).



3.1.2 Analisa Data
No Data Masalah Penyebab
1. DS: -
DO: Pucat, kesadaran delirium, GCS. E: 3, V: 4, M: 4, gelisa, TTV, TD : 110/60, S: 37,2 0C, N: 84x/menit, pernapasan 19x/menit Gangguan perfusi jaringan cerebral Edeman cerebral dan peningkatan TIK
2 DS: -
DO: Ada pendarahan di telinga, ada hematom di mata bagian kanan Resiko terjadinya infeksi Trauma jaringan
3. DS: -
DO: Disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan dalam respon terhadap rangsangan Perubahan presepsi sensori Penuruna neurologis
4. DS: -
DO: Keadaan umum lemah, ADL dibantu keluarga dan perawat (makan, minum, BAK, BAB, kebersihan diri) Intoleransi aktivitas Kelemahan fisik

3.1.3 Diagnosa Keperawatan dan Prioritas Masalah
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema cerebral dan peningkatan TIK.
2. Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan trauma neurologis.
3. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

3.1.4 Perencanaan
Prioritas asuhan keperawatan berdasarkan masalah keperawatan yang mengancam kehidupan kesehatan, dan tumbuh kembang berdasarkan kriteria ini, maka priorotas masalah keperawatan pada Tn. M. L. adalah gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema cerebral dan peningkatan TIK. Goal: mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi motorik atau sensorik. Objektif: tanda-tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Rencana tindakan intervensi yang dibuat:
1. Pantau atau catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
R/ mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan, dan perkembangan kerusakan SSP.
2. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya
R/ reaksi pupil diatur oleh saraf krania okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih kuat. Ukuran atau kesamaan ditentukan oleh keseimbangan saraf simpati dan parasimpati. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf krania optikus (II) dan akulomotor (III).
3. Pantau tanda-tanda vital:
R/ peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar). Merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Hipofolemia atau hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan atau iskemia celebral. Demam dapat mencerminkan penurunan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.

4. Turun stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan seperti lingkungan yang tenang.
R/ memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tuubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
5. Tinggikan kepala pasien 15 sampai 45O sesuai indikasi atau yang dapat ditoleransi.
R/ meningkatkan aliran balik vena dari kepala hingga akan mengurangi konggesti dan endema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.
6. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
R/pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema cerebral meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.
DX II.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Goal: melakukan kembali atau mepertahankan posisi fungsi optimal.
Objektif: dalam waktu 5x24 jam pasien dapat mempertahankan psosisi fungsional dan menunjukkan teknik yang mampu melakukan aktivitas.
Rencana intervensi: 1. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
R/ mengidentifikasikan kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan. 2. Berikan atau bantu dalam mobilisasi. R/ menurunkan komplikasi tira baring. 3. Anjurkan keluarga untuk bantu dan dorong perawatan kebersihan diri. R/ meningkatkan kekuatan sirkulasi, meningkatkan skesehatan diri langsung. 4. Catat TTV sebelum dan sesudah aktivitas. R/ mengkaji sejauh mana perbedaan peningkatan selama aktivitas.

DX III.
Perubahan persepsi sensorik berhuubungan dengan trauma jaringan. Goal: mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi. Obyektif: klesadaran pasien kembali normal dan bisa mengenal waktu, orang alin dan tempat. Rencana intervensi: 1. Pantau secara teratur perubahan orientasi kemampuan berbicara, alam perasaan sensorik dan pikiran. R/ penglihatan motorik, persepsi, kognitif, dan kepribadian mungkin berkembang dan menetap dengan perbaikan respon secara perlahan. 2. Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas atau dingin, benda tajam atau tumpul, dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. R/ informasi penting untuk kemampuan pasien. 3. Bicara dengan suara yang lembut dan pelan, gunakan kalimat pendek dan sederhana. R/ pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian atau pemahaman selama fase akut.
DX IV. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan dengan trauma jaringan
Rencana intervensi: 1. Berikan perawatan aseptik dan intiaseptik. R/ cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosocomial. 2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang invasive (terpasang infus dan kateter) R/ deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan mencegah terhadap komplikasi selanjutnya. 3. Pantau suhu secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental. R/ dapat mengidentikasikan perkembangan spesis yang selanjutnya memerlukan evaluasi dan tindakan dengan segera. 4. Berikan anti biotik sesuai indikasi. R/ terpai profilaktif dapat diberikan pada pasien yang mengalami truma untuk menurunkan resiko terjadinya infesi nosokomial.

3.1.5 Implementasi.
Implementasi pada tanggal 4 Agustus 2010 sesuai rencana intervensi sebagai berikut: untuk DX I gangguan perfusi jaringan cerebran berhubungan dengan cerebral dengan edema cerebral dan peningkatan TIK. Jam 8.30. mengkaji tingkat kesadaran klien, mengukur TTV, jam 10.00 mengatur posisi tidur pasien kepala ditinggikan 15O, jam 10.30. pengevaluasian keadaan pupil dan reaksi terhadap cahaya. Jam 11.00. mengobservasi TTV.
DX II. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Implementasi yang dilakukan: 1. Jam 08.00. membersihkan darah di telinga dan memotong kuku pasien, jam 9.00. melalukan oral higyene, merawat mata yang sakit. jam 11.00. mengobservasi TTV. Jam 12.00. memasang kateter.
DX III. Perubahan persepsi sensoris berhubungan dengan trauma neurologis. Implementasi yang dilakukan. Jam 9.00. Membantu pasien untuk mengenal waktu, tempat, dan orang lain. Jam 11.00 mengobservasi TTV.
DX IV. Resiko tinggi terjadinya infeksi yang berhubungan dengan trauma jaringan. Implementasi yang dilakuan: jam 08.00. membersihkan darah di telinga, merawat mata pasien yang sakit jam 10.00. mengobservasi daerah kulit yang mengalami kerusakan dan daerah yang terpasang alat invasive (terpasang infus dan kateter). Jam 11.00. mengukur TTV. Jam 10.30. mengobservasi warna, kejernihan urine.

3.1.6 Evaluasi
Tanggal 4 Agustus 2010. Jam 12.00 yaitu sebagai berikut:
DX I: gangguan perfisi jaringan cerebral berhubungan dengan edema cerebral dan peningkatan TIK ditandai dengan: S: -, O: kesadaran pasien menurun GCS 11 (E3, V4,M4), tidak ada tanda-tanda sianosis, tekanan darah 110/60mmHg, suhu 37,2OC, nadi 84x/menit, RR 19x/menit, A: masalah belum teratasi, P: intervensi dilanjutkan.
DX II. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan teruma jaringan ditandai dengan: S: -, O: ada pendarahan di telinga, ekspresi wajah meringis kesakitan TD 110/60mmHg suhu 37,2OC, nadi 84x/menit, RR 19x/menit, A: masalah belum teratasi, P: intervensi dilanjutkan.
DX III: perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan trauma neurologis ditandai dengan: S: -, O: pasien tidak mengenal tempat, waktu, dan orang lain, TD, 110/60mmHg, suhu 37,2OC, nadi 84x/menit, A: masalah belum teratasi, P: intervensi dilanjutkan.
DX IV intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik ditandai dengan: S: -, O: kondisi umum lemah, ADL (makan, minum, BAB, BAK masih dibantu oleh keluarga dan perawat), A: masalah belum teratasi, P: lanjutkan intervensi I, II, III, dan IV.


BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan
Dalam pembahasan ini akan dibahas kesenjangan antara teori dan praktek yang dilakukan pada Tn. M. L. melalui proses keperawatan.

4.2 Pengkajian
Menurut Doenges pengkajian yang harus dilakukan pada penderita cedera kepala; system sirkulasi, perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardia, distrimia). Pada Tn. M. L. ditemukan adanya perubahan atau gangguan pada system sirkulasi menandakan adanya peningkatan tekanan intracranial dan tekanan pada pusat vasomotor sehingga terjadi peningkatan transmisi ransangan parasimpatik ke jantung yang mengakibatkan denyut jantung menjadi lambat. Pada Tn. M. L. ada tanda-tanda peningkatan TIK, gangguan menelan, ditemukan pada vase akut cedera kepala yang disebabkan oleh peningkatan TIK dan kompresi pada batang otak. Neurosensorik; perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental (disorientasi waktu, tempat orang lain, kewaspadaan perhatian, konsentrasi, dan pemecahan masalah). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetris). Deviasi pada mata, kehilangan pengideraan, seperti pengecapan, penciuman, dan pendengaran. Pada Tn. M. L. ditemukan karena pada saat pengkajian Tn. M. L. belum melewati vase akut cedera kepala yang ditunjukan dengan GCS: 11 (E: 3, V: 4, M: 4). Nyeri atau kenyamanan; sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama, wajah yang menyeriangi, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bia istirahat, merintih. Sedangkan pada Tn. M. L. ditemukan sakit kepala karena ada peningkatan TIK.
Pada teori ditemukan perubahan pola napas (apnea, yang diselingi oleh hype ventilasi), napas berbunyi stridor, tersedak, ronchi, mengi (kemungkinan karena aspirasi). Perubahan pernapasan terjadi akibat kompresi pada batang otak sehingga terjadi penurunan pada mortilitas otot pernapasan. Sedangkan pada Tn. M. L. tidak ditemukan karena pada saat pemeriksaan fisik tidak ditemukan data-data seperti diatas. Pada teori ditemukan fratur atau dislokasi, Pada Tn. M. L. tidak ditemukan. Pada Tn. M. L. ditemukan adanya gangguan penglihatan pada mata kanan sedangkan pada mata kiri normal, gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, gangguan dalam regulasi suhu tubuh. Pada teori ditemukan adanya perubahan memori atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang. Pada Tn. M. L. ditemukan adanya tanda-tanda seperti diatas karena sat pengkajian pasien dalam keadaan delirium dan tidak mampu berorientasi dengan lingkungan sekitar.

4.3 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa pada pasien dengan cedera kepala menurut Doenges adalah:
1). Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edeman cerebral yang ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan respon motorik atau sensorik, gelisa, perubahan tanda-tanda vital. Pada Tn M. L. diangkat diagnosa ini karena ada data-data yang mendukung. 2). Perubahan resepsi sensori berhubungan dengan trauma atau deficit neurologis yang ditandai dengan disorientasi terhadap waktu, tempat, perubahan terhadap respon rangsangan, perubahan pola komunikasi, respon emosional yang berlebihan, dan perubahan proses perilaku. Pada kasus Tn. M. L. diangkat karena pada saat pengkajian Tn. M. L. dalam keadaan delirium, dan tidak berkomunikasi dengan baik. 3). Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler yang ditandai dengan adanya kerusakan resepsi atau kognitif dan adanya obstruksi trakea bronchial, diagnosa ini tidak diangkat pada kasus Tn. M. L. karena tidak ada data-data yang mendukung untuk menegakkan diagnosa tersebut. 4). Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik yang ditandai dengan ADL dibantu keluarga dan perawat (makan, minum, BAK, BAB, dan kebersihan diri) keadaan umum lemah. Pada Tn. M. L. diangkat.

4.4 Perencanaan
Pada perencanaan tindakan untuk diagnosa keperawatan 1). Gangguan perfusi jaringan celebral berhubungan dengan celebral dan peningkatan TIK. Intervensi atau rencana tindakan keperawatan yang dilakukan: (1) Pantau dan catat satus neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS, Pada Tn. M. L. dikaji tingkat kesadarannya. (2) Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya pada Tn. M. L. ditemukan. (3) Mengobservasi tanda-tanda vital, pada Tn. M. L. dilakukan. Diagnosa keperawatan. 2). Perubahan presepsi sensori berhubungan dengan trauma neurologis. Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan (1) Pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan sensori dan pikiran, pada Tn. M. L.ditemukan. (2) Kaji kesadaran sensori seperti respon sentuhan, panas atau dingin benda tajam atau tumpul pada Tn. M. L.ditemukan. Diagnosa keperawatan 3). Resiko tinggi terjadinya innfeksi berhubungan dengan trauma jaringan. Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan: (1) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan pada daerah yang terpasang invasive (terpasang infus dan kateter) pada Tn. M. L. dilakukan. (2) Pantau suhu tubuh secara teratur pada Tn. M. L. dilakukan. Diagnosa keperawatan. 4). Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Intervensi atau rencana tindakan keperawatan yang dilakukan: (1) Anjurkan keluarga untuk bantu dan dorong perawatan kebersihan diri pada Tn. M. L. dilakukan. (2) Catat TTV sebelum dan sesudah aktivitas pada Tn. M. L. dilakukan.
Perencanaan menurut teori marlyn doenges yang tidak di cantumkan pada diagnosa 1. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema cerebral dan peningkatan TIK. Pada Tn.M.L adalah 1 pantau GDA atau tekanan oksimetri. 2 kaji letak /gerak mata, catat apakah pada posi tengah atau ada deviasi pada salah satu sisi atau kebawah catat pula hilangnya refleks”dolls eye” (refleks okulosefalile)
Menurut teori intervensi yang tidak di cantumkan pada diagnosa 2 perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma neurologis.pada Tn. M.L adalah: 1berikan lingkungan tersetruktur termasuk terapi, aktivitas, buatkan jadwal untuk pasien {jika memungkinkan} dan tinjau kembali secara teratur. 2 buat jadwal istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa ada gangguan. 3 berikan keamanan terhadap pasien seperti mnemberi bantal pengalas pada penghalang tempat tidur, membantu saat berjalan, melindungi dari benda tajam/tumpul.
Menurut teori intervensi yang tidak di cantumkan pada Tn. M.L dengan diagnosa keperawtan resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma neurologis adalah berikan perawatan perinal karena di sesuaikan dengan kondisi pasien dan tidak terdapat luka di daerah perinal sehinga resiko untuk terpapar terhadap kuman invasi sangat kecil, dan perawatan perinal dapat di lakukan oleh keluarga pasien saat melakukan personal hygiene yang telah di anjurkan dan di jelaskan.
Implementasi
Pelaksanaan tindakan sesuai dengan rencana yang disusun berdasarkan intervenlsi dan pada diagnosa keperawatan 1). gangguan perfusi jaringan celebral berhubungan dengan edema celebral dan peningkatan TIK: mengobservasi tanda-tanda vital TD 110/60 mmHg, S: 37,2 0C, N: 84x/menit, pernapasan 19x/menit, mengevaluasi keadaan upil, ukuran kesamaan kiri dan kanan reaksi terhadap cahaya, mengatur posisi tidur pasien dengan tinggikan kepala pasien 150. intervensi yang dibuat semuanya dijalankan sesuai dengan rencana. 2). Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Mengatur posisi tidur pasien, menganjurkan kepada keluarga untuk memberikan bantuan dalam hal kebersihan diri. Dari semua intervennsi yang dibuat semuanya dijalankan sesuai dengan rencana. Diagnosa keperawatan 3). Resiko tinggi terjadinya infeksi yaitu mebersihkan darah di telinga dengan menggunakan NaCl , dan merawat mata yang sakit. Dari semua intervensi yan dibuat semuanya dijalankan sesuai dengan rencana. Diagnosa keperawatan 4). Perubahan resepsi sensori. Dari semua intervensi yan dibuat semuanya dijalankan sesuai dengan rencana.
4.6 Evaluasi
Dilakuan pada tanggal 4 Agustus 2010 pada diagnosa keperawatan 1). Masalah belum teratasi yang ditandai dengan: S: - , O: kesadaran menurun, pucat, GCS: E: 3, V: 4, M: 4, gelisa, TTV, TD: 110/60mmHg, S: 37,2 0C, N: 84x/menit, pernapasan 19x/menit. A: masalah belum teratasi, P: intervensi dilanjutkan. Diagnosa 2). Intoleransi aktivitas, masalah belum teratasi yang ditandai dengan: S: - , O: keadaan umum pasien lemah, ADL dibantu oleh keluarga dan perawat (makan, minum, BAK, BAB dan kebersihan diri). A: masalah belum teratasi, P: intervensi dilanjutkan. Diagnosa 3). Resiko terjadinya infeksi: masalah belum teratasi ditandai dengan: S: - , O: ada penderahan ditelinga, ada hematom di mata bagian kanan. A: masalah belum diatasi, P: intervensi dilanjutkan. Karena hematom pada mata tidak diobati maka akan menyebabkan kebutaan. Diagnosa 4). Perubahan presepsi sensori: masalah belum teratasi ditandai dengan, S: - , O: disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan dalam respon terhadap ransanan. A: masalah belum teratasi, P: Intervensi dilanjutkan.


BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala dapat di bagi berdasarkan penilaian GCS menjadi: cedera kepala ringan (GCS 13 – 15), sedang (GCS 9 – 12), dan berat (GCS 3 – 8). Tn. M. L masuk Rumah Sakit dengan diagnosa medis cedera kepala berat (CKB) belum mengalami kemajuan saat dilakukan pengkajian dengan kesadaran delirium.
Masalah keperawatan yang diangkat adalah gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema cerebral dan peningkatan tekanan intrakranial, perubahan presepsi sensori berhubungan dengan trauma neurologis, resiko tinggi tergadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Rencana tindakan, diagnosa I: pantau neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS, evaluasi keadaan pupil, dan keseimetrisan serta reaksi terhadap cahaya, pantau tanda vital secara teratur, perhatikan adanya gelisah yang meningkat dan tingkah laku yang tidak sesuai, tinggikan kepala pasien 14-45 derajat sesuai indikasi yang dapat ditoleransi. Diagnosa II: pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan sensori dan pikiran, kaji kesadaran sensori seperti respon sentuhan, panas atau dingin, benda tajam atau tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh, bicara dengan suara yang lembut dan pelan, gynakan kalomat pendek dan sederhana. Diagnosa III: resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam dan menggigil,berikan anti bioti sesuai dengan indikikasi. Diagnosa IV: intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Tindakan perawatan yang telah dibuat untuk mengtasi masalah di atas adalah melakukan evaluasi keadaan pupil dan keseimbangan reaksi terhadap cahaya, perawatan mata, membantu memenuhi kebutuhan ADL pasien.
Setelah dilakukan tindakan – tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah pada Tn. M. L dan dilakukan evaluasi pada tanggal 04 Agustus 2010 ditemukan masalah-msalah di atas belum teratasi.

5.2 SARAN
1. Bagi tenaga keperawatan
Agar perawat memperhatikan pengkajian pada pasien dengan cedera kepala secara komprehensif dan tidak hanya berfokus pada fungsi neurologis sehingga dapat menegakan diagnose sesuai dengan masalah yang ditemukan dan intervensi yang dilakukan sesuai dengan diagnoa yang diangkat serta dapat di aplikasikan secara tepat dan sesuai dengan standar sehingga asuhan kepeawatan yng diberikan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien dan dapat mengotimalkan kesembuhan pasien.
2. Bagi pasien dan keluarga
Agar pasien dan keluarga mengetahui penyakit cedera kepala dan mengetahui cara penanganannya karena penyembuhan penyakit cedera kepala membutuhkan jangka waktu yang cukup lama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bruner & Sudarth (2002), Buku Ajaran Keperaawatan Medical Bedah, Edisi 8 Vol 3, Jakarta.
2. Hudak & Gallo (1997), Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik Vol 2, Jakarta: EGC.
3. Doenges M. E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta: EGC.
4. Mansjoer A. dkk (2000), Kapitas Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jakarta: EGC.
5. Boswick, J. A. (1997), Perawatan Gawat Darurat, Jakarta: EGC.
6.









CATATAN PERKEMBANGAN
NO NO. DX TGL IMPLEMENTASI EVALUASI
1. I 04-08-2010 08. 30
 Mengkaji tanda-tanda vital
 Merawat mata menggunakan NACl
 Memeriksa keadaan pupil pasien serta reaksi terhadap cahaya
11. 00
 Mengobservasi TTV
 Memberikan injeksi, amplisilin dan piracetam 2 x 3 gram (melalui IV) S: -
O: Kesadaran menurun, pucat, GCS: E: 3, V: 4, M: 4, gelisa, TTV, TD: 110/60mmHg, S: 37,2 0C, N: 84x/menit, pernapasan 19x/menit.
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan.
2. II 04-08-2010 10. 00
 Membersihkan darah di telinga
 Merawat mata yang sakit S: -
O: Ada penderahan ditelinga, ada hematom di mata bagian kanan.
A: Masalah belum diatasi
P: Intervensi dilanjutkan.
3. III 04-08-2010 10. 20
 Mengkaji keadaan umum pasien
 Menganjurkan kepada keluarga untuk selalu bercerita dengan pasien dan jangan meninggal pasien sendirian.
 Mengkaji respon pasien terhadap tempat, orang dan waktu S: -
O: Disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan dalam respon terhadap ransanan.
A:Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan.
4. IV 04-08-2010 12. 00
 Mengaff katetter
 Memasang kateter ulang S: -
O: Keadaan umum pasien lemah, ADL dibantu oleh keluarga dan perawat (makan, minum, BAK, BAB dan kebersihan diri)
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan.
5. I 05-08-2010 09. 00
 Mengkaji status neurologi dengan menggunakan skala GCS
 Memeriksa keadaan pupil pasien serta reaksi terhadap cahaya
11. 00
 Melayani injeksi, amplisilin dan pira cetam (melalui IV)
11. 20
 Mengobservasi TTV S: -
O: Kesadaran menurun, pucat, GCS: E: 3, V: 4, M: 4, gelisa, TTV, TD: 110/60mmHg, S: 37,2 0C, N: 84x/menit, pernapasan 19x/menit.
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
6. II 05-08-2010 10. 00
 Membersihkan darah di telinga dan merawat mata yang sakit S: -
O: Ada penderahan ditelinga, ada hematom di mata bagian kanan.
A: Masalah belum diatasi
P: Intervensi dilanjutkan.
7. III 05-08-2010 10. 15
 Mengkaji keadaan umum pasien
 Menganjurkan kepada keluarga untuk selalu bercerita dengan pasien dan jangan meninggal pasien sendirian.
 Mengkaji respon pasien terhadap tempat, orang dan waktu S: -
O: Disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan dalam respon terhadap ransanan.
A:Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
8. IV 05-08-2010 10. 30
 Memotong kuku pasien
 Melakukan oral hygienen
 Mengatur posisi tidur pasien, kepala ditinggikan 15 0 S: -
O: Keadaan umum pasien lemah, ADL dibantu oleh keluarga dan perawat (makan, minum, BAK, BAB dan kebersihan diri)
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan