Laman

Rabu, 20 Oktober 2010

stefen helan

LAPORAN STUDI KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. M. L DENGAN CEDERA KEPALA BERAT
DI RUANGAN KELIMUTU RSUD. Prof. Dr. W. Z. JOHANES KUPANG
TANGGAL 02 s/d 05 AGUSTUS 2010



Disusun Dalam Rangka Menyelesaikan Ujian Akhir Program PAda Akademik Keperawatan Maranatha Kupang











OLE H

STEFANIA BENGA OLA
NIM: 03902507


YAYASAN MARANATHA GROUPS WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR
AKADEMIK KEPERAWATAN MARANATHA KUPANG
2010



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dewasa ini perkembangan akan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin pesat. Hal ini ditandai dengan penemuan ilmu-ilmu baru di segala bidang atau penemuan peralatan baru yang semakin canggih atau mendekati sempurna. Dalam bidang transportasi para ahli berlombah-lombah untuk mendesain sebuah kendaraan baik dari segi konstruksi mesin, sistem bahan bakar, sistem kelistrikan, sistem pemindah daya, sistem rem, sistem pelumasan, dan sistem lainnya yang berhubungan dengan suatu kendaraan agar lebih disenangi konsumen, baik biaya pembelian atau biaya perawatannya dan nyaman dalam mengendarai. Namun realita mengatakan pengendara sering mengalami kecelakaan yang mengakibatkan hal yang sangat fatal bagi organ tubuhnya. Misalnya terjadi kecelakaan dalam mengendarai kendaraan yang mengakibatkan cedera pada kepala.
Cedera kepala merupakan adanya diaformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan kecepatan serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
Cedera otak dilindungi oleh rambut, kulit dan tulang tengkorak yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak yang membuat kita seperti adanya atau seperti saat ini akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, akibat tidak langsung dari cedera otak ini akan mengakibatkan kerusakan sistim saraf yaitu neuron yang tidak dapat diperbaiki lagi apabila telah rusak akan mengganggu seluruh kegiatan tubuh manusia (Mansjoer, 2000).
Cedera otak atau yang biasa disebut dengan cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai dengan perdarahan interstil substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak atau dengan kata lain cedera kepala adalah satu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak, atau otak yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang dan harus selalu dihindari dan ditemukan perbaikannya karena jika tidak akan menimbulkan cacat mental dan fisik bahkan kematian bagi seseorang (Hudak dan Gallok,1997).
Diperkirakan 100 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera yang cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Pada kelompok ini, antara 50.000 dan 90.000 orang setiap tahun mengalami penurunan intelektual atau tingkahlaku yang menghambat kembalinya mereka ke kehidupan yang normal. 2/3 kasus cedera kepala berusia di bawah tiga puluh tahun, dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. 50% pasien cedera kepala yang diterapi di ruang darurat dalam darahnya terdeteksi kadar alkohol. Kurang lebih 40% dari korban dengan trauma ganda mengalami cedera sistem syaraf pusat. Kelompok ini mempunyai angka kematian dua kali lebih besar daripada korban tanpa cedera sitim syaraf pusat (35%:17%). Cedera kepala ini merupakan 25% dari semua kemataian akibat trauma lebih dari setengahnya adalah akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor (Brunnar & Suddarth, 2002).
Di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johanes Kupang, khususnya di ruangan kelimutu (III Laki) dari bulan Januari sampai Juli 2010, terdapat 60 orang (10%).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu berpikir kritis dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala berat (CKB) melalui pendekatan proses keperawatan.


1.2.2 Tujuan khusus
Mahasiswa mampu:
1. Melakukan pengkajian kepada pasien dengan cedera kepala berat
2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan cedera kepala berat
3. Membuat perencanaan tindakan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala berat
4. Melakukan tindakan sesuai rencana pada pasien dengan cedera kepala berat.
5. Mengevaluasi dan mendokumentasikan hasil asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala berat.

1.3 Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan laporan ini adalah metode deskriptif dan studi kasus yang membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala dan studi kasus Tn. M.L. yang dirawat di ruangan Kelimutu dengan diagnisa medis cedera kepala berat

1.4 Sistim Penulisan
Sistim penulisan terdiri dari BAB I Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang, tujuan, metode dan sistematika penulisan. Bab II tinjauan teori atau pustaka Bab III tinjauan kasus, Bab IV pembahasan, Bab V penutup terdiri dari kesimpulan dan saran.








BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian
Cedera kepala yaitu adanya diaformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan kecepatan serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai pendarahan interfill dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontiunitas otak. Cedera kepala adalah keadaan kegawatan satu susunan syaraf pusat yang harus secepatnya mendapat pertolongan karena dapat mengakibatkan gangguan fungsi atau mental ba hkan kematian.

2.2 Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi cedera.
1. Mekanisme: berdasarkan adanya penetrasi durameter. trauma tumpul: kecepatan tingi (tabrak oto, motor) dan kecepatan rendah (terjatuh, dipukul), trauma tembus (luka tembus peluru atau luka tusukan).
2. Keparahan cedera
Glsgow coma scala (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelemahan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala:
Berdasarkan keparahan cedera kepala:
a. Cedera kepala ringan: GCS: 13-15, tidak terjadi kehilangan kesadaran atau anamnese < dari 30 menit, fraktur tengkorak tidak ada, contusio cerebral tidak ada, tidak ditemukan adanya hematon, tidak ada nyeri tekan dan juga tidak ada keluhan berupa pusing.
b. Cedera kepala sedang: GCS 9-13, penurunan kesadaran, muntah, kejang, amnesia > 30 menit, tapi < dari 24 jam.
c. Cedera kepala berat: GCS: 3-8, penurunan kesadaran secara progresif, tanda neurologois fokal, cedera kepala penetrasi, anemia > 24 jam.

2.3 Penyebab Cedera Kepala
a. Cedera Otak primer
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera setelah akibat langsung dari trauma. Pada cedera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi,
b. Cedera ke otak sekunder:
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
Proses-proses fisiologi yang abnormal:
1) Kejang-kejang
2) Gangguan saluran napas.
3) Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena: edema fokal atau difusi, hematoma epidural, hematoma subdural, hematoma intra serebral, overhidrasi.
4) Sepsis/septic syok
5) Shock
Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cedera otak dan sangat mempengaruhi morbilitas dan mortalitas.

2.3.1 Perdarahan yang sering ditemukan
1) Epidural hematom
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan durameter akibat pecahnya pembuluh darah atau cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di durameter, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangan berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai satu sampai dua hari. Lokasi yangpaling sering yaitu di lobus temporalis dan parentalis.
Tanda dan gejala
Penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, ireguler, penurunan nadi, peningkatan suhu tubuh.

2) Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat terjadi akut atau kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena atau jembatan vena yang biasanya terdapat di antara durameter, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam sampai dua hari atau dua minggu dan kronik dapat terjadi dalam dua minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala
Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berpikir lambat, kejang dan edema pupil.

3) Perdarahan intracerebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejala
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.

4) Perdarahan subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral, dan kaku kuduk.



2.4 Patofisiologi


























2.5 Manifestasi Klinis
Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik, dan perubahna tanda vital. Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, gangguan pergerakan dan banyak efek lainnya. Karena cedera SSP sendiri tidak menyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukan kemungkinan cedera multisistem.

2.6 Pemeriksaan diagnostik
CT Scan: (tanpa atau dalam kontras) untuk mengidentifikasi adanya hemorabi, menentukan ukuran ventikuler, pertgeseran jaringan otak.
Angiografi cerebral: menunjukkan kelaina sirkulasi cerebral seperti pergeseran jaringan otak, akibat edema, perdarahan, trauma.
X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahans irkulasi garis (perdarahan atau edema), fragmen tulang.
Analisa gas darah: mendeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadinya tekana intrakranial.
Elektrolit: untuk mengoreksikan keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.

2.7 Penatalaksanaan
Menilai jalan napas: bersihkan jalan napas dari debris dan muntah, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar sertikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan napas maka pasien harus diintubasi.
Menilai pernapasan: tentukan pasien bernapas sepontan atau tidak, jika tidak berika oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks, pneumotoraks tensif, hemo pneumotoraks. Pasang oksimeter nadi jika tersedia, dengan tujuan menjaga satu rasio oksigen minimum 95 %. Jika jalan napas pasien tidak terlindungi bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat atau muntah maka pasien harus diintubasi.
Menilai sirkuasi: otak yang besar tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua pendarahan dengan menekankan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisa gas darah arteri. Berikan larutan koloit, sedangkan larutan kristaloit (dekstrosa atau dektrosa dalam salin), menimbulkan eksarserbasi edema otak pasca cedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksial, dan hiperkapnia memperburuk cedera kepala.
Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masi kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/ kg BB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.

2.8 Asuhan Keperawatan
2.8.1 Pengkajian
BREATHING
Kompresi pada batan gotak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekwensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia brething. Napas berbunyi, stridor, ringkhy , wheezing (kemungkinan karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.

BLOOD
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah berfariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpati ke jantung akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia.

BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cedera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, simkope, tinitus, kehilangan pendengaran, pada ekstemitas. Bila pendarahan hebat, atau luas dan mengenai batang otak, akan terjadi gangguan pada nerkus kranialis, maka dapat terjadi:
a. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku memori).
b. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajaman, diplopia, kehilangan sebagai lapang pandang, fotophobia.
c. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
d. Sering timbul cekukan oleh karena kompresi pada nervus fagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
e. Gangguan nersus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh ke salah satu sisi, disfagia, sehingga sulit menelan.]

BLADER
Pada cedera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontensial uri, ketidakmampuan menahan miksi.

BOWEL
Pasien cedera kepala terjadi penurunan fungsi pencernaan, bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera, gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi avi.
BONE
Pasien cedera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilitas dan dapat pula terjadi spasitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusakatau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapa pula terjadi penurunan otot.
Priorotas keperawatan.
a. memaksimalkan perfusi/ f ungsi otak
b. mencegah komplikasi
c. mengatur fungsi secara optimal
d. mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga
e. pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengibatan dan rehabilitasi.

2.8.2 Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema cerebral dan peningkatan TIK
b. Resiko tinggi pola napas tidak e fektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler.
c. Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan perubahan transimisi atau trauma atau defisit neurologis.
d. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis.
e. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler.

2.8.3 Rencana Tindakan
a. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan denga edema cerebral atau peningkatan TIK

Tujuan: Mempertahankan tingkat kesadaran dan perfusi jaringan.
Kriteria hasil: Tanda-tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Rencana tindakan:
1. Tentukan faktor-fakttor yang menyebabkan koma, atau penurunan perfusi jaringan otak dan potensi peningkatan TIK.
R/ penurunan tanda atau gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan intensif.
2. Pantau dan catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
R/ mengkaji itingkat kesadaran potensial, peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan SSP.
3. Evaluasi keadaan pupil, ukur kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.
R/ reaksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran atau ketajaman ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dan saraf kranial (II) dan okulomotor III.
4. Pantau dan catat tanda-tanda vital: TD, nadi, frekwensi napas, suhu,
R/ peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD sistolik merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh perubahan kesadaran. Hipofolemia atau hipotensi dapat mengakibatkan kerusakan atau iskemia cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi menyebabkan peningkatan TIK.
5. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan seperti lingkungan yang tenang.
R/ memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
6. tinggikan kepala pasien 15-45O sesuai indikasi atau yang dapat ditoleransi.
R/ meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan edema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.
b. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler.
Tujuan: Mempertahankan pola napasefektif.
Kriteria hasil: bebas tanosis, GDA dalam batas normal.
Rencana tindakan:
1. Pantau frekwensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakakuratan pernapasan.
R/ perubahan dapat menandakan alitan komplikasi kumoral atau menandakan lokasi luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode abnea, dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
2. tinggikan kepala dan tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
R/ untuk memudahkan ekspansi paru atau ventilasi dan menurunkan kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
3. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar menurunkan atau mencegah atelektasis. Lakukan pengisapan/suction dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik, catat karakter, warna dankekeruhan dari sekret.
R/ pengisapan biasanya dibutuhkan jika pasien atau dalam keadaan imobilisasi, dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri.
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi atau defisit neurologis..
Rencana tindakan:
1. Pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan, sensori dan pikiran.
R/ penmglihatan motorik, resepsi, kognitif dan kepribadian mungkin berkembang dan menetap dengan perbaikan respon secara perlahan.
2. Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas atau dingin, benda tajam atau tumpul, dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh.
R/ informasi penting untuk keamanan pasien.
3. Bicara dengan suara yng lebut dan pelan, gunakan kalimat pendek dan sederhana.
R/ pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian atau pemahaman selama fase akut.
d. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis
Rencana tindakan:
1. Kaji rentang pengertian, kebingungan, dan catat tingkat ansetas pasien.
R/ rentang kemampuan atau perhatian untuk berkonsentrasi mungkin memendek secara tajam yang menyebabkan dan merupakan potensi tingkahlaku pasien.
2. Anjurkan orang terdekat untuk memberikan berita baru atau keluarga
R/ meningkatkan terpeliharanya kontak dengan keadaan yang biasa terjadi.
3. Pastikan demgam orang terdekat untuk membandingkan tingkah laku pasien sebelum mengalami trauma dengan respon pasien sekarang.
R/ untuk membedakan tingkah laku yang sekarang dan sebelumnya.
4. Hindari meninggalkan pasien sendiri ketika mengalami agitasi, kegelisahan atau berontak.
R/ ansetas dapat mengakibatkan kehilangan kontrol dan meningkatkan kepanikan dukungan dapat memberikan ketenangan yang menurunkan antetas dan ersiko terjadinya trauma.
e. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
1. Berikan perawatan aseptik dan antiaseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
R/ cara pertama menghindari terjadinya infeksi nosokomia.
2. observasi daerah kulit yang mengalkami kerusakan, daerah yang terpasang alat infasi.
R/ deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
3. pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, menggigil, diatphoresis dan perubahan fungsi mental.
R/ dapat mengidentifikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi dan tindakan dengan segera.
4. berikan antibiotik sesuai indikasi.
R/ terapi anfilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomia.
f. Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler.
1. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi
R/ Mengidentifikasikan kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
2. Letakan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan
R/ Perubahan posisi yang teratur menyebabkan peningkatan sirkulasi pada seluruh bagian tubuh.
3. Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional.
R/ Mencegah terjadinya trauma yang lebih lanjut.
4. Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan lembut.
R/ Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan resiko terjadinya eksoriasi kulit.


BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Studi Kasus
3.1.1 Pengkajian
Hasil pengkajian yang dilakukan pada tanggal 3 agustus 2010 jam 2 siang pada keluarga Tn. M.L, umur 35 tahun suku timor agama Kristen Protestan, pekerjaan wiraswasta, alamat Takari dengan diagnosa medik cedera kepala berat. Dengan riwayat keperawatan sebagai berikut: pasien masuk rumah sakit pada tanggal 22 Juli 2010 dalam keadaan tidak sadar dengan GCS 3 (E1,V1,M1) karena ditabrak oto truk. Pasien masuk di UGD dan dipindahkan ke ruang ICU pada tanggal 23 Juli 2010 dan masuk di ruang Kelimutu pada tanggal 3 Agustus 2010 jam 11 siang.
Saat ini keluarga pasien mengatakan pasien merasa pusing, sakit di daerah kepala, pasien selalu berontak dan berteriak, tingkat kesadaran pasien juga menurun. Upaya yang telah dilakukan yaitu pasien diantar ke puskesmas Takari dan pasien langsung dirujuk ke rumah sakit RSUD Prof. W.Z. Yohanes Kupang. Di ruang UGD dan mendapat pengobatan. Keluarga pasien mengatakan pasien tidak pernah menderita penyakit berat. Keluarga pasien mengatakan bahwa tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit berat. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Pasien anak ke tiga dari empat bersaudara. Pasien mempunyai dua saudari yaitu anak pertama dan keempat. Sedangkan istri pasien anak kedua dari tiga bersaudara dan memiliki satu orang saudara laki-laki yaitu anak pertama. Pasien mempunyai tiga orang anak, anak pertama perempuan, anak kedua dan ketiga laki-laki. Keluarga pasien mangatakan di lingkungan rumahnya bersih. Pada saat observasi dan pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan pasien lemah, terpasang infus RL 20 tetes per menit, pucat. Tanda-tanda vital: suhu 37,2OC, peraksila nadi 84 kali per menit, tekanan darah 110/60mmHg pada lengan kanan dengan posisi berbaring, RR 19 kali/menit. Keluarga pasien mengatakan pasien merasa pusing dan nyeri kepala. Bunyi jantung S1 dan S2 normal, pernapasan vaskuler. Kapilari refill time 3 detik. Kesadaran pasien delilium dengan nilai GCS 11 (E3, V4, M4) seklera putih, pupil isokhor, konjungtive merah muda, pendengaran kiri dan kanan pasien normal. Penciuman baik, pengecapan manis, asin dan pahit. Perabaan hangat, panas, dingin. Produksi urine 1500ml/24 jam, berwarna kuning pekat, terpasang kateter tetap. Abdomen simetris, tidak ada masa atau nyeri tekanan.
Pada sitem mosculoskeleta, tidak terdapat kelainan otot. Aktivitas pasien selama di rumah dan di rumah sakit antara lain: pola makan 3xsehari (tidak teratur) di rumah sakit 3x sehari (teratur), pola minum di rumah dan di rumah sakit setiap kali haus, pola eliminasi di kateter, BAB di rumahnya 2x/hari dan di rumah sakit 1x, pola istirahat atau tidur di rumah jam 22.00-05.00, sedangkan di rumah sakit 3xsehari (jam 10.00-12.00, jam 17.00-18.00, jam 21.00-05.30). pola personal higyene di rumah (mandi 2xsehari, keramas tiap kali mandi) sedangkan di rumah sakit (mandi 1x /hari, keramas dibantu oleh perawat dan keluarga). Pola aktivitas pasien di rumah jam 07.00-16.00 bekerja di bengkel. Frekwensi makan pasien adalah 3x sehari dengan jenis menu antara lain bubur dan lauk-pauk, frekwensi minum setiap kali haus dengan jenis minuman air putih dan susu.
Konsep tentang penguasa kehidupan dan sumber kekuatan atau harapan saat sakit adalah Tuhan, ritual agama yang diharapkan saat ini adalah doa. Keyakinan/kepercayaan bahwa Tuhan akan menolong dalam menghadapi situasi sakit, yaitu keluarga percaya bahwa pasien akan sembuh dari sakitnya. Terapi obat yang didapat: amplicilin (2x1 gram/IV), piracetam (2x3gr/IV).



3.1.2 Analisa Data
No Data Masalah Penyebab
1. DS: -
DO: Pucat, kesadaran delirium, GCS. E: 3, V: 4, M: 4, gelisa, TTV, TD : 110/60, S: 37,2 0C, N: 84x/menit, pernapasan 19x/menit Gangguan perfusi jaringan cerebral Edeman cerebral dan peningkatan TIK
2 DS: -
DO: Ada pendarahan di telinga, ada hematom di mata bagian kanan Resiko terjadinya infeksi Trauma jaringan
3. DS: -
DO: Disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan dalam respon terhadap rangsangan Perubahan presepsi sensori Penuruna neurologis
4. DS: -
DO: Keadaan umum lemah, ADL dibantu keluarga dan perawat (makan, minum, BAK, BAB, kebersihan diri) Intoleransi aktivitas Kelemahan fisik

3.1.3 Diagnosa Keperawatan dan Prioritas Masalah
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema cerebral dan peningkatan TIK.
2. Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan trauma neurologis.
3. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

3.1.4 Perencanaan
Prioritas asuhan keperawatan berdasarkan masalah keperawatan yang mengancam kehidupan kesehatan, dan tumbuh kembang berdasarkan kriteria ini, maka priorotas masalah keperawatan pada Tn. M. L. adalah gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema cerebral dan peningkatan TIK. Goal: mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi motorik atau sensorik. Objektif: tanda-tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Rencana tindakan intervensi yang dibuat:
1. Pantau atau catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
R/ mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan, dan perkembangan kerusakan SSP.
2. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya
R/ reaksi pupil diatur oleh saraf krania okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih kuat. Ukuran atau kesamaan ditentukan oleh keseimbangan saraf simpati dan parasimpati. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf krania optikus (II) dan akulomotor (III).
3. Pantau tanda-tanda vital:
R/ peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar). Merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Hipofolemia atau hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan atau iskemia celebral. Demam dapat mencerminkan penurunan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.

4. Turun stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan seperti lingkungan yang tenang.
R/ memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tuubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
5. Tinggikan kepala pasien 15 sampai 45O sesuai indikasi atau yang dapat ditoleransi.
R/ meningkatkan aliran balik vena dari kepala hingga akan mengurangi konggesti dan endema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.
6. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
R/pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema cerebral meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.
DX II.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Goal: melakukan kembali atau mepertahankan posisi fungsi optimal.
Objektif: dalam waktu 5x24 jam pasien dapat mempertahankan psosisi fungsional dan menunjukkan teknik yang mampu melakukan aktivitas.
Rencana intervensi: 1. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
R/ mengidentifikasikan kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan. 2. Berikan atau bantu dalam mobilisasi. R/ menurunkan komplikasi tira baring. 3. Anjurkan keluarga untuk bantu dan dorong perawatan kebersihan diri. R/ meningkatkan kekuatan sirkulasi, meningkatkan skesehatan diri langsung. 4. Catat TTV sebelum dan sesudah aktivitas. R/ mengkaji sejauh mana perbedaan peningkatan selama aktivitas.

DX III.
Perubahan persepsi sensorik berhuubungan dengan trauma jaringan. Goal: mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi. Obyektif: klesadaran pasien kembali normal dan bisa mengenal waktu, orang alin dan tempat. Rencana intervensi: 1. Pantau secara teratur perubahan orientasi kemampuan berbicara, alam perasaan sensorik dan pikiran. R/ penglihatan motorik, persepsi, kognitif, dan kepribadian mungkin berkembang dan menetap dengan perbaikan respon secara perlahan. 2. Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas atau dingin, benda tajam atau tumpul, dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. R/ informasi penting untuk kemampuan pasien. 3. Bicara dengan suara yang lembut dan pelan, gunakan kalimat pendek dan sederhana. R/ pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian atau pemahaman selama fase akut.
DX IV. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan dengan trauma jaringan
Rencana intervensi: 1. Berikan perawatan aseptik dan intiaseptik. R/ cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosocomial. 2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang invasive (terpasang infus dan kateter) R/ deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan mencegah terhadap komplikasi selanjutnya. 3. Pantau suhu secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental. R/ dapat mengidentikasikan perkembangan spesis yang selanjutnya memerlukan evaluasi dan tindakan dengan segera. 4. Berikan anti biotik sesuai indikasi. R/ terpai profilaktif dapat diberikan pada pasien yang mengalami truma untuk menurunkan resiko terjadinya infesi nosokomial.

3.1.5 Implementasi.
Implementasi pada tanggal 4 Agustus 2010 sesuai rencana intervensi sebagai berikut: untuk DX I gangguan perfusi jaringan cerebran berhubungan dengan cerebral dengan edema cerebral dan peningkatan TIK. Jam 8.30. mengkaji tingkat kesadaran klien, mengukur TTV, jam 10.00 mengatur posisi tidur pasien kepala ditinggikan 15O, jam 10.30. pengevaluasian keadaan pupil dan reaksi terhadap cahaya. Jam 11.00. mengobservasi TTV.
DX II. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Implementasi yang dilakukan: 1. Jam 08.00. membersihkan darah di telinga dan memotong kuku pasien, jam 9.00. melalukan oral higyene, merawat mata yang sakit. jam 11.00. mengobservasi TTV. Jam 12.00. memasang kateter.
DX III. Perubahan persepsi sensoris berhubungan dengan trauma neurologis. Implementasi yang dilakukan. Jam 9.00. Membantu pasien untuk mengenal waktu, tempat, dan orang lain. Jam 11.00 mengobservasi TTV.
DX IV. Resiko tinggi terjadinya infeksi yang berhubungan dengan trauma jaringan. Implementasi yang dilakuan: jam 08.00. membersihkan darah di telinga, merawat mata pasien yang sakit jam 10.00. mengobservasi daerah kulit yang mengalami kerusakan dan daerah yang terpasang alat invasive (terpasang infus dan kateter). Jam 11.00. mengukur TTV. Jam 10.30. mengobservasi warna, kejernihan urine.

3.1.6 Evaluasi
Tanggal 4 Agustus 2010. Jam 12.00 yaitu sebagai berikut:
DX I: gangguan perfisi jaringan cerebral berhubungan dengan edema cerebral dan peningkatan TIK ditandai dengan: S: -, O: kesadaran pasien menurun GCS 11 (E3, V4,M4), tidak ada tanda-tanda sianosis, tekanan darah 110/60mmHg, suhu 37,2OC, nadi 84x/menit, RR 19x/menit, A: masalah belum teratasi, P: intervensi dilanjutkan.
DX II. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan teruma jaringan ditandai dengan: S: -, O: ada pendarahan di telinga, ekspresi wajah meringis kesakitan TD 110/60mmHg suhu 37,2OC, nadi 84x/menit, RR 19x/menit, A: masalah belum teratasi, P: intervensi dilanjutkan.
DX III: perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan trauma neurologis ditandai dengan: S: -, O: pasien tidak mengenal tempat, waktu, dan orang lain, TD, 110/60mmHg, suhu 37,2OC, nadi 84x/menit, A: masalah belum teratasi, P: intervensi dilanjutkan.
DX IV intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik ditandai dengan: S: -, O: kondisi umum lemah, ADL (makan, minum, BAB, BAK masih dibantu oleh keluarga dan perawat), A: masalah belum teratasi, P: lanjutkan intervensi I, II, III, dan IV.


BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan
Dalam pembahasan ini akan dibahas kesenjangan antara teori dan praktek yang dilakukan pada Tn. M. L. melalui proses keperawatan.

4.2 Pengkajian
Menurut Doenges pengkajian yang harus dilakukan pada penderita cedera kepala; system sirkulasi, perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardia, distrimia). Pada Tn. M. L. ditemukan adanya perubahan atau gangguan pada system sirkulasi menandakan adanya peningkatan tekanan intracranial dan tekanan pada pusat vasomotor sehingga terjadi peningkatan transmisi ransangan parasimpatik ke jantung yang mengakibatkan denyut jantung menjadi lambat. Pada Tn. M. L. ada tanda-tanda peningkatan TIK, gangguan menelan, ditemukan pada vase akut cedera kepala yang disebabkan oleh peningkatan TIK dan kompresi pada batang otak. Neurosensorik; perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental (disorientasi waktu, tempat orang lain, kewaspadaan perhatian, konsentrasi, dan pemecahan masalah). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetris). Deviasi pada mata, kehilangan pengideraan, seperti pengecapan, penciuman, dan pendengaran. Pada Tn. M. L. ditemukan karena pada saat pengkajian Tn. M. L. belum melewati vase akut cedera kepala yang ditunjukan dengan GCS: 11 (E: 3, V: 4, M: 4). Nyeri atau kenyamanan; sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama, wajah yang menyeriangi, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bia istirahat, merintih. Sedangkan pada Tn. M. L. ditemukan sakit kepala karena ada peningkatan TIK.
Pada teori ditemukan perubahan pola napas (apnea, yang diselingi oleh hype ventilasi), napas berbunyi stridor, tersedak, ronchi, mengi (kemungkinan karena aspirasi). Perubahan pernapasan terjadi akibat kompresi pada batang otak sehingga terjadi penurunan pada mortilitas otot pernapasan. Sedangkan pada Tn. M. L. tidak ditemukan karena pada saat pemeriksaan fisik tidak ditemukan data-data seperti diatas. Pada teori ditemukan fratur atau dislokasi, Pada Tn. M. L. tidak ditemukan. Pada Tn. M. L. ditemukan adanya gangguan penglihatan pada mata kanan sedangkan pada mata kiri normal, gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, gangguan dalam regulasi suhu tubuh. Pada teori ditemukan adanya perubahan memori atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang. Pada Tn. M. L. ditemukan adanya tanda-tanda seperti diatas karena sat pengkajian pasien dalam keadaan delirium dan tidak mampu berorientasi dengan lingkungan sekitar.

4.3 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa pada pasien dengan cedera kepala menurut Doenges adalah:
1). Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edeman cerebral yang ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan respon motorik atau sensorik, gelisa, perubahan tanda-tanda vital. Pada Tn M. L. diangkat diagnosa ini karena ada data-data yang mendukung. 2). Perubahan resepsi sensori berhubungan dengan trauma atau deficit neurologis yang ditandai dengan disorientasi terhadap waktu, tempat, perubahan terhadap respon rangsangan, perubahan pola komunikasi, respon emosional yang berlebihan, dan perubahan proses perilaku. Pada kasus Tn. M. L. diangkat karena pada saat pengkajian Tn. M. L. dalam keadaan delirium, dan tidak berkomunikasi dengan baik. 3). Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler yang ditandai dengan adanya kerusakan resepsi atau kognitif dan adanya obstruksi trakea bronchial, diagnosa ini tidak diangkat pada kasus Tn. M. L. karena tidak ada data-data yang mendukung untuk menegakkan diagnosa tersebut. 4). Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik yang ditandai dengan ADL dibantu keluarga dan perawat (makan, minum, BAK, BAB, dan kebersihan diri) keadaan umum lemah. Pada Tn. M. L. diangkat.

4.4 Perencanaan
Pada perencanaan tindakan untuk diagnosa keperawatan 1). Gangguan perfusi jaringan celebral berhubungan dengan celebral dan peningkatan TIK. Intervensi atau rencana tindakan keperawatan yang dilakukan: (1) Pantau dan catat satus neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS, Pada Tn. M. L. dikaji tingkat kesadarannya. (2) Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya pada Tn. M. L. ditemukan. (3) Mengobservasi tanda-tanda vital, pada Tn. M. L. dilakukan. Diagnosa keperawatan. 2). Perubahan presepsi sensori berhubungan dengan trauma neurologis. Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan (1) Pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan sensori dan pikiran, pada Tn. M. L.ditemukan. (2) Kaji kesadaran sensori seperti respon sentuhan, panas atau dingin benda tajam atau tumpul pada Tn. M. L.ditemukan. Diagnosa keperawatan 3). Resiko tinggi terjadinya innfeksi berhubungan dengan trauma jaringan. Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan: (1) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan pada daerah yang terpasang invasive (terpasang infus dan kateter) pada Tn. M. L. dilakukan. (2) Pantau suhu tubuh secara teratur pada Tn. M. L. dilakukan. Diagnosa keperawatan. 4). Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Intervensi atau rencana tindakan keperawatan yang dilakukan: (1) Anjurkan keluarga untuk bantu dan dorong perawatan kebersihan diri pada Tn. M. L. dilakukan. (2) Catat TTV sebelum dan sesudah aktivitas pada Tn. M. L. dilakukan.
Perencanaan menurut teori marlyn doenges yang tidak di cantumkan pada diagnosa 1. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema cerebral dan peningkatan TIK. Pada Tn.M.L adalah 1 pantau GDA atau tekanan oksimetri. 2 kaji letak /gerak mata, catat apakah pada posi tengah atau ada deviasi pada salah satu sisi atau kebawah catat pula hilangnya refleks”dolls eye” (refleks okulosefalile)
Menurut teori intervensi yang tidak di cantumkan pada diagnosa 2 perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma neurologis.pada Tn. M.L adalah: 1berikan lingkungan tersetruktur termasuk terapi, aktivitas, buatkan jadwal untuk pasien {jika memungkinkan} dan tinjau kembali secara teratur. 2 buat jadwal istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa ada gangguan. 3 berikan keamanan terhadap pasien seperti mnemberi bantal pengalas pada penghalang tempat tidur, membantu saat berjalan, melindungi dari benda tajam/tumpul.
Menurut teori intervensi yang tidak di cantumkan pada Tn. M.L dengan diagnosa keperawtan resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma neurologis adalah berikan perawatan perinal karena di sesuaikan dengan kondisi pasien dan tidak terdapat luka di daerah perinal sehinga resiko untuk terpapar terhadap kuman invasi sangat kecil, dan perawatan perinal dapat di lakukan oleh keluarga pasien saat melakukan personal hygiene yang telah di anjurkan dan di jelaskan.
Implementasi
Pelaksanaan tindakan sesuai dengan rencana yang disusun berdasarkan intervenlsi dan pada diagnosa keperawatan 1). gangguan perfusi jaringan celebral berhubungan dengan edema celebral dan peningkatan TIK: mengobservasi tanda-tanda vital TD 110/60 mmHg, S: 37,2 0C, N: 84x/menit, pernapasan 19x/menit, mengevaluasi keadaan upil, ukuran kesamaan kiri dan kanan reaksi terhadap cahaya, mengatur posisi tidur pasien dengan tinggikan kepala pasien 150. intervensi yang dibuat semuanya dijalankan sesuai dengan rencana. 2). Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Mengatur posisi tidur pasien, menganjurkan kepada keluarga untuk memberikan bantuan dalam hal kebersihan diri. Dari semua intervennsi yang dibuat semuanya dijalankan sesuai dengan rencana. Diagnosa keperawatan 3). Resiko tinggi terjadinya infeksi yaitu mebersihkan darah di telinga dengan menggunakan NaCl , dan merawat mata yang sakit. Dari semua intervensi yan dibuat semuanya dijalankan sesuai dengan rencana. Diagnosa keperawatan 4). Perubahan resepsi sensori. Dari semua intervensi yan dibuat semuanya dijalankan sesuai dengan rencana.
4.6 Evaluasi
Dilakuan pada tanggal 4 Agustus 2010 pada diagnosa keperawatan 1). Masalah belum teratasi yang ditandai dengan: S: - , O: kesadaran menurun, pucat, GCS: E: 3, V: 4, M: 4, gelisa, TTV, TD: 110/60mmHg, S: 37,2 0C, N: 84x/menit, pernapasan 19x/menit. A: masalah belum teratasi, P: intervensi dilanjutkan. Diagnosa 2). Intoleransi aktivitas, masalah belum teratasi yang ditandai dengan: S: - , O: keadaan umum pasien lemah, ADL dibantu oleh keluarga dan perawat (makan, minum, BAK, BAB dan kebersihan diri). A: masalah belum teratasi, P: intervensi dilanjutkan. Diagnosa 3). Resiko terjadinya infeksi: masalah belum teratasi ditandai dengan: S: - , O: ada penderahan ditelinga, ada hematom di mata bagian kanan. A: masalah belum diatasi, P: intervensi dilanjutkan. Karena hematom pada mata tidak diobati maka akan menyebabkan kebutaan. Diagnosa 4). Perubahan presepsi sensori: masalah belum teratasi ditandai dengan, S: - , O: disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan dalam respon terhadap ransanan. A: masalah belum teratasi, P: Intervensi dilanjutkan.


BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala dapat di bagi berdasarkan penilaian GCS menjadi: cedera kepala ringan (GCS 13 – 15), sedang (GCS 9 – 12), dan berat (GCS 3 – 8). Tn. M. L masuk Rumah Sakit dengan diagnosa medis cedera kepala berat (CKB) belum mengalami kemajuan saat dilakukan pengkajian dengan kesadaran delirium.
Masalah keperawatan yang diangkat adalah gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema cerebral dan peningkatan tekanan intrakranial, perubahan presepsi sensori berhubungan dengan trauma neurologis, resiko tinggi tergadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Rencana tindakan, diagnosa I: pantau neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS, evaluasi keadaan pupil, dan keseimetrisan serta reaksi terhadap cahaya, pantau tanda vital secara teratur, perhatikan adanya gelisah yang meningkat dan tingkah laku yang tidak sesuai, tinggikan kepala pasien 14-45 derajat sesuai indikasi yang dapat ditoleransi. Diagnosa II: pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan sensori dan pikiran, kaji kesadaran sensori seperti respon sentuhan, panas atau dingin, benda tajam atau tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh, bicara dengan suara yang lembut dan pelan, gynakan kalomat pendek dan sederhana. Diagnosa III: resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam dan menggigil,berikan anti bioti sesuai dengan indikikasi. Diagnosa IV: intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. Tindakan perawatan yang telah dibuat untuk mengtasi masalah di atas adalah melakukan evaluasi keadaan pupil dan keseimbangan reaksi terhadap cahaya, perawatan mata, membantu memenuhi kebutuhan ADL pasien.
Setelah dilakukan tindakan – tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah pada Tn. M. L dan dilakukan evaluasi pada tanggal 04 Agustus 2010 ditemukan masalah-msalah di atas belum teratasi.

5.2 SARAN
1. Bagi tenaga keperawatan
Agar perawat memperhatikan pengkajian pada pasien dengan cedera kepala secara komprehensif dan tidak hanya berfokus pada fungsi neurologis sehingga dapat menegakan diagnose sesuai dengan masalah yang ditemukan dan intervensi yang dilakukan sesuai dengan diagnoa yang diangkat serta dapat di aplikasikan secara tepat dan sesuai dengan standar sehingga asuhan kepeawatan yng diberikan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien dan dapat mengotimalkan kesembuhan pasien.
2. Bagi pasien dan keluarga
Agar pasien dan keluarga mengetahui penyakit cedera kepala dan mengetahui cara penanganannya karena penyembuhan penyakit cedera kepala membutuhkan jangka waktu yang cukup lama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bruner & Sudarth (2002), Buku Ajaran Keperaawatan Medical Bedah, Edisi 8 Vol 3, Jakarta.
2. Hudak & Gallo (1997), Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik Vol 2, Jakarta: EGC.
3. Doenges M. E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta: EGC.
4. Mansjoer A. dkk (2000), Kapitas Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jakarta: EGC.
5. Boswick, J. A. (1997), Perawatan Gawat Darurat, Jakarta: EGC.
6.









CATATAN PERKEMBANGAN
NO NO. DX TGL IMPLEMENTASI EVALUASI
1. I 04-08-2010 08. 30
 Mengkaji tanda-tanda vital
 Merawat mata menggunakan NACl
 Memeriksa keadaan pupil pasien serta reaksi terhadap cahaya
11. 00
 Mengobservasi TTV
 Memberikan injeksi, amplisilin dan piracetam 2 x 3 gram (melalui IV) S: -
O: Kesadaran menurun, pucat, GCS: E: 3, V: 4, M: 4, gelisa, TTV, TD: 110/60mmHg, S: 37,2 0C, N: 84x/menit, pernapasan 19x/menit.
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan.
2. II 04-08-2010 10. 00
 Membersihkan darah di telinga
 Merawat mata yang sakit S: -
O: Ada penderahan ditelinga, ada hematom di mata bagian kanan.
A: Masalah belum diatasi
P: Intervensi dilanjutkan.
3. III 04-08-2010 10. 20
 Mengkaji keadaan umum pasien
 Menganjurkan kepada keluarga untuk selalu bercerita dengan pasien dan jangan meninggal pasien sendirian.
 Mengkaji respon pasien terhadap tempat, orang dan waktu S: -
O: Disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan dalam respon terhadap ransanan.
A:Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan.
4. IV 04-08-2010 12. 00
 Mengaff katetter
 Memasang kateter ulang S: -
O: Keadaan umum pasien lemah, ADL dibantu oleh keluarga dan perawat (makan, minum, BAK, BAB dan kebersihan diri)
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan.
5. I 05-08-2010 09. 00
 Mengkaji status neurologi dengan menggunakan skala GCS
 Memeriksa keadaan pupil pasien serta reaksi terhadap cahaya
11. 00
 Melayani injeksi, amplisilin dan pira cetam (melalui IV)
11. 20
 Mengobservasi TTV S: -
O: Kesadaran menurun, pucat, GCS: E: 3, V: 4, M: 4, gelisa, TTV, TD: 110/60mmHg, S: 37,2 0C, N: 84x/menit, pernapasan 19x/menit.
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
6. II 05-08-2010 10. 00
 Membersihkan darah di telinga dan merawat mata yang sakit S: -
O: Ada penderahan ditelinga, ada hematom di mata bagian kanan.
A: Masalah belum diatasi
P: Intervensi dilanjutkan.
7. III 05-08-2010 10. 15
 Mengkaji keadaan umum pasien
 Menganjurkan kepada keluarga untuk selalu bercerita dengan pasien dan jangan meninggal pasien sendirian.
 Mengkaji respon pasien terhadap tempat, orang dan waktu S: -
O: Disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan dalam respon terhadap ransanan.
A:Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
8. IV 05-08-2010 10. 30
 Memotong kuku pasien
 Melakukan oral hygienen
 Mengatur posisi tidur pasien, kepala ditinggikan 15 0 S: -
O: Keadaan umum pasien lemah, ADL dibantu oleh keluarga dan perawat (makan, minum, BAK, BAB dan kebersihan diri)
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar